Mohon tunggu...
Politik

Ini Usulan Henry Yoso Agar KPK tak Lagi Langgar Kewenangan Hukum

10 Februari 2016   22:12 Diperbarui: 10 Februari 2016   22:30 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditegaskan juga dalam pasal tersebut, bahwa penahanan baru bisa bisa dilakukan jika terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran seperti tersangka akan menghilangkan barang bukti, melarikan diri dan mengulangi tindak pidana. Syaratnya, keadaan yang mengkhawatirkan itu juga harus bersifat obyektif. Dalam konteks itu, kita dapat mempertanyakan obyektifkah KPK yang menahan seseorang perempuan yang masih mempunyai anak kecil. Atau masuk akalkah tersangka perempuan ini akan melarikan diri. 

Henry juga mengamati tidak ada satu pun yang sudah ditetapkan tersangka oleh KPK yang tidak ditahan. Seolah-olah KPK mempunyai keharusan untuk selalu menahan seseorang. “Artinya, kalau kebiasaan tersebut diteruskan, saya khawatir hal itu akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh KPK,” tandas Henry Yosodiningrat.

Mengenai keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor), Henry yang berpengalaman selama tidak kurang 37 tahun sebagai Advokat / Pengacara itu mengusulkan, agar peradilan tersebut dikembalikan ke peradilan umum saja. 

“Keterkaitan dengan kepercayaan terhadap institusi Kejaksaan atau Kepolisian, terhadap institusinya saya masih percaya. Tapi dengan Jaksa Agung yang sekarang saya tidak percaya. Saya pernah menyampaikan informasi disertai bukti-bukti kuat tentang dugaan tindak pidana korupsi. Dan sudah ditetapkan tersangkanya. Sudah dicekal dan diberikan ijin untuk menggeledah rumah maupun kantornya. Begitu Sdr. HM Prasetyo diangkat Jaksa Agung, perkara itu jalan di tempat. Saya tulis surat ke KPK, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 dan 9 UU KPK agar mengambil alih Penyidikan perkara itu. Apa yang terjadi? Sebelum diambil alih oleh KPK perkara itu dihentikan penyidikannya oleh Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Prasetyo. Padahal perkara itu menyangkut kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara, c.q Pemda DKI dalam jumlah Trilyunan Rupiah. Saya persilahkan Jaksa Agung untuk menuntut saya karena ucapan saya ini," demikian Henry.

 

Pakar Hukum Sepakat Revisi

Prof Romli yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini sepakat UU KPK direvisi. Sebab, keberadaan Dewas harus dituangkan dalam RUU KPK. Romli pun sudah menyodorkan draf RUU KPK versi miliknya. Menurutnya, Dewas menjadi media pengawasan agar penyadapan dilakukan dapat terkontrol seperti penyadapan harus mengantongi izin dari Dewas selain komisoner KPK.

Dia menilai terkait anggaran dalam memenuhi kebutuhan Dewas bukan menjadi persoalan, termasuk persoalan birokrasi dapat disiasati. Menurutnya, pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pers tidak lagi dapat diharapkan. Apalagi LSM pun dipandang bukan tidak mungkin memiliki kepentingan.
"Jadi saya setuju dengan adanya Dewas. Jadi presiden dapat mendengar langsung dari Dewan Pengawas. Jadi terpaksa ada Dewan Pengawas," kata Prof Romli.

Menurutnya, keberadaan Dewas berkaitan dengan SP3. Sebab, sebutnya, SP3 tidak diperlukan KPK sepanjang mekanisme pengawasan yang dilakukan Dewas nantinya dapat berjalan maksimal. Misalnya terhadap tindakan penyidikan dan penetapan tersangka seseorang di KPK melalui pengawasan Dewas, penyidik sudah memiliki alat bukti dan bukti permulaan yang cukup dan kuat.

Dengan begitu penyidikan dapat berjalan cepat tanpa berlarut-larut. Usulan SP3 disebabkan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK acapkali berjalan lama. Akibatnya, nasib status hukum seseorang tersangka seolah digantung yang berakibat melanggar hak asasi manusia.

"Sepanjang ada Dewas yang diberikan kewenangan, saya yakin KPK tidak perlu SP3 sepanjang ada Dewas yang kuat mengawasi," ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun