Anggota Badan Legislasi DPR RI H. KRH Henry Yosodiningrat, SH. mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebuah keharusan.
Menurut dia, ada beberapa ketentuan dalam UU KPK telah menabrak asas-asas hukum. Dijelaskan Henry, beberapa ketentuan dalam UU KPK yang lama dianggap menabrak asas hukum diantaranya seperti Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
“Dengan demikian maka Jaksa bertindak mewakili KPK. Ini suatu hal yang bertentangan dengan asas-asas yang berlaku secara universal di seluruh dunia. Bahwa jaksa itu bertindak mewakili negara,” kata Henry di Gedung DPR, Jakarta, Selasa sore (9/2/2016).
Selain itu, disebutkan dalam UU KPK yang lama, Pimpinan KPK sebagai pejabat negara harus mencerminkan sikap negarawan. "Tapi tidak cengengesan seperti yang kita lihat ketika Pimpinan KPK yang dulu menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, seperti main-main dan seolah sedang melakukan penghinaan terhadap seorang Perwira Tinggi Polri. Sebagai Bangsa Indonesia, saya malu melihat prilaku Pejabat Negara seperti itu, tidak mencerminkan sikap sebagai Negarawan."
Usulan Henry lainnya terkait Revisi UU KPK adalah pembentukan lembaga baru yang khusus menangani bidang pencegahan. Hal itu agar KPK fokus untuk memberantas korupsi.
Kemudian, lanjut Henry, dalam UU KPK Tahun 2002 menegaskan bahwa Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum seperti yang tertuang dalam Pasal 21 ayat 4. “Saya pikir ini sudah kebangetan Pasal ini. Untuk menjadi penyidik itu ada syaratnya. Penuntut umum yang menetapkan itu negara, dalam hal ini Jaksa Agung. Setiap jaksa, orang yang masuk di Kejaksaan untuk menjadi Jaksa harus melalui pendidikan dulu, setelah melewati pendidikan-pendikan jenjang dulu baru ia bisa menjadi Jaksa Penuntut Umum,” ujarnya.
Jadi kalau seorang pimpinan KPK yang tidak jelas latar belakang atau pendidikan hukumnya ditetapkan sebagai penyidik dan penuntut umum, ini kebangetan. Kemudian, tambah Henry, hukum acara juga harus kembali ke KUHAP. Meskipun ia dikatakan extra ordinary, inilah yang membuat KPK menjadi super power. Terkait usulan menambah kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurutnya, KPK dalam menetapkan seorang tersangka hanya berdasarkan bukti permulaan.
“Ketika putusan Pengadilan Tipikor "tidak memuaskan" sering kita lihat KPK dan kita dengar "KPK Banding" terhadap putusan itu. KPK iki opo toh? Kalau penyidik tugasnya selesai setelah perkara dinyatakan Penuntut Umum P21 dan dilanjukan dengan Pelimpahan tahap II. Dalam hal seperti itu semestinya Jaksa yang banding, ini kok KPK yang banding? Ini membuat terjadi salah kaprah dan berakibat sesat Peradilan sesat. Tugas Jaksa bukan untuk melihat seorang terdakwa dihukum tapi melihat bagaimana keadilan itu ditegakkan," jelas Henry Yoso.
Tegasnya, lanjut Henry, kalau berdasarkan fakta-fakta di persidangan ternyata menurut Jaksa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, Jaksa harus berani menuntut bebas, persoalannya mengapa Jaksa tidak berani menuntut bebas, karena dengan sudah menyatakan P21 berdasarkan benda-benda mati berupa berkas perkara, dianggap bahwa Jaksa yang bersangkutan sudah memastikan bahwa ia pasti dapat membuktikan dakwaannya. Sehingga Jaksa tidak boleh menuntut bebas. Jaksa lupa bahwa berkas perkara yang berisi kumpulan berita acara dan berisi keterangan saksi yang dianggap sebagai bukti itu tidak lebih dari sekedar pedoman dalam memeriksa perkara. Karena keterngan saksi dan keterangan ahli serta keterangan terdakwa adalah apa yang ia nyatakan di muka sidang (bukan dalam berkas perkara, semua isi berita acara bisa berubah di muka sidang).
Henry berpendapat, pihak KPK sudah terlalu sering menyalahgunakan dengan berdalih "diskresi" atau kewenangan, misalnya dalam konteks penahanan tersangka. Sebab, mereka lupa bahwa pada dasarnya SETIAP ORANG TIDAK BOLEH DITAHAN, kecuali orang yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan diamcam pidana 5 tahun atau lebih atau melakukan perbuatan sebagaimana dikecualikan dalam ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP.
Ditegaskan juga dalam pasal tersebut, bahwa penahanan baru bisa bisa dilakukan jika terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran seperti tersangka akan menghilangkan barang bukti, melarikan diri dan mengulangi tindak pidana. Syaratnya, keadaan yang mengkhawatirkan itu juga harus bersifat obyektif. Dalam konteks itu, kita dapat mempertanyakan obyektifkah KPK yang menahan seseorang perempuan yang masih mempunyai anak kecil. Atau masuk akalkah tersangka perempuan ini akan melarikan diri.
Henry juga mengamati tidak ada satu pun yang sudah ditetapkan tersangka oleh KPK yang tidak ditahan. Seolah-olah KPK mempunyai keharusan untuk selalu menahan seseorang. “Artinya, kalau kebiasaan tersebut diteruskan, saya khawatir hal itu akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh KPK,” tandas Henry Yosodiningrat.
Mengenai keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor), Henry yang berpengalaman selama tidak kurang 37 tahun sebagai Advokat / Pengacara itu mengusulkan, agar peradilan tersebut dikembalikan ke peradilan umum saja.
“Keterkaitan dengan kepercayaan terhadap institusi Kejaksaan atau Kepolisian, terhadap institusinya saya masih percaya. Tapi dengan Jaksa Agung yang sekarang saya tidak percaya. Saya pernah menyampaikan informasi disertai bukti-bukti kuat tentang dugaan tindak pidana korupsi. Dan sudah ditetapkan tersangkanya. Sudah dicekal dan diberikan ijin untuk menggeledah rumah maupun kantornya. Begitu Sdr. HM Prasetyo diangkat Jaksa Agung, perkara itu jalan di tempat. Saya tulis surat ke KPK, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 dan 9 UU KPK agar mengambil alih Penyidikan perkara itu. Apa yang terjadi? Sebelum diambil alih oleh KPK perkara itu dihentikan penyidikannya oleh Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Prasetyo. Padahal perkara itu menyangkut kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara, c.q Pemda DKI dalam jumlah Trilyunan Rupiah. Saya persilahkan Jaksa Agung untuk menuntut saya karena ucapan saya ini," demikian Henry.
Pakar Hukum Sepakat Revisi
Prof Romli yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini sepakat UU KPK direvisi. Sebab, keberadaan Dewas harus dituangkan dalam RUU KPK. Romli pun sudah menyodorkan draf RUU KPK versi miliknya. Menurutnya, Dewas menjadi media pengawasan agar penyadapan dilakukan dapat terkontrol seperti penyadapan harus mengantongi izin dari Dewas selain komisoner KPK.
Dia menilai terkait anggaran dalam memenuhi kebutuhan Dewas bukan menjadi persoalan, termasuk persoalan birokrasi dapat disiasati. Menurutnya, pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pers tidak lagi dapat diharapkan. Apalagi LSM pun dipandang bukan tidak mungkin memiliki kepentingan.
"Jadi saya setuju dengan adanya Dewas. Jadi presiden dapat mendengar langsung dari Dewan Pengawas. Jadi terpaksa ada Dewan Pengawas," kata Prof Romli.
Menurutnya, keberadaan Dewas berkaitan dengan SP3. Sebab, sebutnya, SP3 tidak diperlukan KPK sepanjang mekanisme pengawasan yang dilakukan Dewas nantinya dapat berjalan maksimal. Misalnya terhadap tindakan penyidikan dan penetapan tersangka seseorang di KPK melalui pengawasan Dewas, penyidik sudah memiliki alat bukti dan bukti permulaan yang cukup dan kuat.
Dengan begitu penyidikan dapat berjalan cepat tanpa berlarut-larut. Usulan SP3 disebabkan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK acapkali berjalan lama. Akibatnya, nasib status hukum seseorang tersangka seolah digantung yang berakibat melanggar hak asasi manusia.
"Sepanjang ada Dewas yang diberikan kewenangan, saya yakin KPK tidak perlu SP3 sepanjang ada Dewas yang kuat mengawasi," ujarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H