Pertama kali Bapak punya niat untuk mengkuliahkan mas Hari adalah sekitar pertengahan tahun delapan puluhan, saat kakak saya yang pertama itu masih duduk di bangku SMP. Ketika itu hampir semua orang di kampung meremehkan. Beberapa bahkan menganggap Bapak kena tenung, bahasa halus untuk menyebut orang yang dianggap sedang bertukar otaknya. Di tengah-tengah lingkungan dimana orang lain bertekun mengumpulkan uang sebagai modal untuk menyewa sawah atau membeli ternak, menginvestasikan tabungan untuk pendidikan tentu dirasa aneh. Apalagi kami bukanlah dari golongan priyayi. Pekerjaan Bapak waktu itu sebagai tukang bangunan, membuat satu-satunya harta yang dimiliki hanyalah sepetak rumah warisan dari Kakek.
Namun kini, lebih dari tiga puluh tahun kemudian, keluarga kami telah dijadikan semacam panutan. Bahwa tekad yang kuat, perencanaan yang baik, dan tentunya rahmat dari Yang Maha Kuasa, membuktikan bahwa pendidikan dapat mengubah jalan hidup manusia. Bapak dan Ibu yang hanya sekolah sampai SD berhasil mengantarkan anak-anaknya lulus dengan nilai di atas rata-rata dari Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Institut Teknologi Bandung; serta adik yang bungsu (jarak umur kami memang jauh) masih kuliah di Universitas Airlangga. Berkat pendidikan, orangtua menyaksikan kami memiliki karir yang baik, menjadi atasan dari orang-orang bule, studi lanjut ke luar negeri dengan gratis, dan berbagai hal lain yang dulu pasti mereka tidak pernah terpikirkan.
Kesadaran akan pendidikan
Sebelum mas Hari, di kampung hanya ada dua orang lain yang kuliah. Itu pun tidak bisa dianggap benar-benar warga kampung, karena setelah lulus SD, mereka melanjutkan pendidikan menengahnya di kota lain.
Apakah kampung itu terpencil? Tidak. Jaraknya tidak sampai empat puluh kilometer dari ibukota kabupaten. Lokasinya pun di Pulau Jawa, pusat segala aktivitas di tanah air. Selain itu, di kota kabupaten terdapat sebuah universitas negeri. Meskipun di tahun delapan puluhan perguruan tinggi itu masih relatif muda, pendidikan tinggi bukanlah suatu hal yang benar-benar asing di daerah tersebut.
Atau apakah penduduk di kampung itu amatlah melarat, sehingga prioritas utama adalah memikirkan keselamatan perut terlebih dulu? Tidak juga. Desa kami itu tidaklah miskin, walaupun tidak boleh dibilang kaya-raya. Sebuah pabrik gula warisan Belanda menopang ekonomi desa. Berbagai aktivitas turunannya seperti pertanian tebu dan borongan buruh di pabrik menjamin warga tidak akan sampai kelaparan, karena pekerjaan selalu tersedia. Beberapa orang bahkan bisa menjadi sangat makmur. Petani-petani tebu kelas kakap bisa memperoleh penghasilan (dengan nominal sekarang) lebih dari lima puluh juta rupiah per bulan, lebih dari cukup untuk membayar biaya pendidikan. Namun di masa itu, tidak ada anak-anak petani itu yang kuliah. Menyelesaikan pendidikan sampai SMA pun, sudah bagus. Mengapakah demikian? Kenapa justru Bapak yang hanya tukang bangunan berupah harian yang memiliki cita-cita untuk mengkuliahkan anak?
Filosofi hidup orang-orang kampung di masa itu amatlah sederhana. Kalau menjadi petani tebu yang berhasil, sejak kecil anak telah dibawa ke sawah tebu, dengan harapan, nanti saat dewasa dapat melanjutkan jejak kesuksesan bapaknya. Begitu pula yang memiliki toko bangunan, akan akan dididik untuk meneruskan usahanya. Bahkan di awal milenium ini, ada orangtua teman saya yang menganggap pendidikan tinggi bagi anak gadisnya tidaklah penting. Padahal dia adalah seorang guru. Sungguh amat ironis.
Di tengah-tengah lingkungan yang tradisional seperti itu, kesadaran akan pentingnya pendidikan tidaklah tumbuh. Orang-orang beranggapan bahwa metodenya adalah yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya. Kenyataannya, cerita yang sama selalu berulang. Keluarga-keluarga kaya yang dulu sawahnya puluhan hektar, habis hartanya terjual, karena anak-anaknya tidak punya bekal pendidikan. Alpanya mental yang kuat, luaran yang terpenting dari pendidikan tinggi, membuat anak-anak orang kaya itu tidak kuasa untuk mengarungi kehidupan dewasa yang serba tidak menentu.
Bapak yang lahir dan besar di kampung itu, tidak ubahnya seperti orang-orang kampung yang lain. Sejak kecil, mas Hari adalah anak yang pintar, peringkat satu di sekolah tidak pernah luput dari genggamannya. Kelas satu SMP (tahun 1986) dia sudah bisa merakit radio dengan kualitas prima yang sampai saat ini suaranya masih jernih. Melihat bakatnya, guru-gurunya menyarankan Bapak supaya anaknya itu disekolahkan sampai setinggi mungkin. Anggapan itu hanya dianggap angin lalu. Bagaimana mungkin menyekolahkan anak dengan pendapatan tukang yang pas-pasan, lagipula, untuk apa buang-buang uang bagi pendidikan?
Peribahasa “bagai katak dalam tempurung” ternyata benar adanya. Berada di zona nyaman membuat kita sulit untuk berkembang. Menjelang akhir tahun 1980-an, beberapa saat setelah saya, anak ketiganya lahir, Bapak merantau ke Surabaya. Di sana ia mulai menjadi mandor bangunan. Bapak mendapati satu fenomena unik, atasan-atasannya banyak yang lebih muda dari dirinya. Anak-anak muda yang pintar-pintar itu bergaji tinggi.
“Lha kuwi kok iso arek-arek cilik wis dadi bos?” (Lha itu kok bisa anak-anak kecil sudah jadi bos?), suatu saat Bapak bertanya. Teman-temannya menjawab, “Lha wong sekolahe duwur” (mereka sekolahnya tinggi). Dia akhirnya tahu kalau pendidikan tinggi itu didapatkan dengan cara kuliah.
Suatu ketika Bapak bekerja dengan supervisornya yang baru, seorang insinyur sipil muda yang lulus cum laude dari ITB. Saat berkeliling proyek, insinyur itu untuk pertama kalinya tahu seperti apakah septic tank dibangun. Bapak berpikir, “Aku, membuat septic tank sedemikian seringnya sampai sudah hapal, gajiku tidak sampai setengah dari anak muda ini!” Makin kagum dia begitu tahu kalau insinyur dari Bali itu berasal dari keluarga miskin.
Peristiwa itu seolah-olah membuka mata pikiran Bapak. Dia yang semula hanya ingin mas Hari menjadi sopir truk atau tukang reparasi, sekarang berpikir, “Lek anakku ora sekolah duwur, putuku sukmben lak dadi tukang becak?” (Kalau anakku tidak berpendidikan tinggi, bisa-bisa nanti cucuku menjadi tukang becak?). Setelah sekian bulan merenung masak-masak, saat pulang dari proyek Bapak berkata dengan amat yakin ke Ibu, “Anak kita harus kuliah!”
Perencanaan pendidikan
Ibu jelas kebingungan dengan luapan semangat suaminya. SD saja dia hanya sampai kelas tiga, mana mungkin mengerti apa itu kuliah. Bapak pun sebetulnya sama bingungnya. Jika tinggal di kota besar, kaya, atau dari keluarga priyayi, urusan kuliah itu mudah saja. Sedangkan Bapak yang miskin, dari kampung dan tidak punya contoh ibaratnya seperti orang buta. Namun Bapak tidak menyerah. Dicarinya info kesana kemari tentang dunia perkuliahan. Paling kasat mata, orangtua kami akhirnya tahu kalau mengkuliahkan anak itu perlu biaya besar. Kalau orang lain mungkin sudah patah semangatnya, Bapak kebalikannya. Justru dia bersemangat untuk ikhtiar mencari dana pendidikan anaknya. Macam-macam pekerjaan dilakukannya. Orangtua kami pun mulai menabung. Saat itu kebetulan ada agen asuransi yang datang ke rumah. Ibu mendaftar, preminya dalam US Dollar. Pilihan ini terbukti tepat, karena saat jatuh tempo, USD telah menguat dengan signifikan.
Tidak hanya dalam hal biaya, faktor-faktor lain tidak lupa disiapkan. Disini saya banyak belajar dan sadar bahwa orangtua kami itu memang sebetulnya pintar. Bapak pernah bilang, untuk bisa berhasil mengkuliahkan anak, diperlukan tiga hal; dana, orangtua yang mendukung, dan anak yang mau diajak kerjasama.
Memang betul, setelah banyak bertanya, Bapak dan Ibu sadar kalau kuliah itu bukanlah sesuatu yang instan, namun memerlukan persiapan yang matang. Maka sejak awal Bapak sudah menetapkan, mas Hari harus sekolah di SMAN 1 Jember, yang terbaik di kabupaten, karena Bapak sudah paham bahwa lingkungan SMA yang kondusif akan melancarkan jalan untuk tembus ke PTN.
Sayangnya harapan itu tidak terwujud. Walaupun mas Hari lulus dengan NEM kedua terbaik ke Kabupaten Jember, kebijakan rayonisasi di kala itu membuatnya tidak bisa sekolah di kota. Dia pun masuk ke SMAN 1 Tanggul yang dekat rumah. SMA itu tidaklah bagus, mas Hari tidak kerasan dan pindah ke SMKN 2 Jember. Kala itu, harapan Bapak sebetulnya sudah hampir pupus. Bagaimana mungkin anak bisa masuk ke PTN kalau sekolahnya di kejuruan? Perlu diketahui, saat itu materi sekolah kejuruan memang berbeda jauh dengan SMA.
Namun orangtua kami tidak menyerah. Terus dididiknya mas Hari supaya tetap punya cita-cita untuk kuliah. Disinilah peran dari seorang anak, harus mau kompromi. Menjelang UMPTN, mas Hari bertanya, “njenengan nopo nggadah setunggal atus ewu?” (Bapak dan Ibu apa punya seratus ribu?) Dia mau ikut bimbingan belajar. Uang itu amat besar bagi orangtua di masa itu. Entah bagaimana akhirnya didapatkan. Mas Hari pun akhirnya diterima di jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya.
Usaha tidak berhenti disitu. Mengkuliahkan mas Hari di Kota Malang tidaklah mudah bagi seorang mandor yang pendapatannya tidak menentu. Maka disini juga diperlukan persiapan dari orangtua. Bapak dan Ibu harus sabar untuk menahan diri. Jangankan sering-sering makan daging, saat itu Ibu sering berhutang beras. Keuangan di rumah menjadi amat ketat, prioritas pertama adalah untuk anak yang sedang kuliah.
Memupuk kesabaran akan gunjingan tetangga juga tidak kalah pentingnya. Tidak kurang saudara-saudaranya sendiri mengejek Bapak karena dianggap menghamburkan uang. Bapak bergeming, dari awal dia sudah punya keyakinan, masa depan anaknya adalah yang terpenting.
Buah manis pendidikan
Tahun 1994 mas Hari lulus kuliah, dengan IPK 3,8. Setelahnya dia mendapatkan pekerjaan yang baik dan bahkan juga beasiswa studi lanjut dari kantornya. Kehidupan keluarga telah membaik, namun tidak berhenti sampai disini. Mas Hari sekarang juga berperan dalam persiapan pendidikan adik-adiknya. Tidak hanya berupa nasihat, namun juga materi. Tidak lain ini adalah buah perencanaan orangtua kami. Ibu sering berpesan ke mas Hari saat dia masih mahasiswa, “Bapak dan Ibu telah habis-habisan untuk pendidikanmu. Janganlah lupakan adik-adikmu yang masih kecil-kecil.” Walaupun memang Bapak yang perannya dominan, posisi Ibu tidak kalah pentingnya. Ibu yang mendidik kami untuk selalu jujur, sederhana, dan bekerja keras. Pendek kata, kami amat beruntung punya Bapak dan Ibu yang amat luar biasa dalam menyiapkan masa depan anak-anaknya. Derajat keluarga otomatis terangkat. Saat ini mas Hari menjadi seorang senior engineer di salah satu pembangkit listrik terbesar di Indonesia, mbak Eni menjadi kontraktor yang berhasil di Medan, sedangkan saya adalah dosen di ITB.
Itulah sekilas cerita tentang usaha orangtua kami dalam merencanakan pendidikan tinggi bagi anak-anaknya, yang semoga dapat diambil hikmahnya. Hingga saat ini, pendidikan tinggi masih merupakan barang mewah di Indonesia. Menurut BPS, hanya sepuluh persen dari angkatan kerja kita yang pernah mengenyam bangku universitas. Tentu ini memprihatinkan, karena pendidikan yang berkualitas adalah modal untuk memanfaatkan kekuatan anak bangsa dengan optimal. Tanpa pendidikan yang baik, kualitas SDM sebagai agen utama pembangunan tidak bisa diharapkan.
Faktor biaya tidak selalu jadi alasan yang menghambat kuliah. Kadang seseorang tidak melanjutkan pendidikannya karena orangtuanya belum sadar akan pentingnya kuliah. Kadang juga mereka tidak melakukan perencanaan yang baik bagi persiapan masa depan anaknya. Untuk itu, usaha-usaha untuk menyebarkan arti penting pendidikan harus selalu kita lakukan. Tanpa pendidikan, Indonesia merana. Dengan pendidikan, Indonesia jaya.
Groningen, Agustus 2016
https://twitter.com/rullytricahyono
https://www.facebook.com/rullytricahyono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H