Suatu ketika Bapak bekerja dengan supervisornya yang baru, seorang insinyur sipil muda yang lulus cum laude dari ITB. Saat berkeliling proyek, insinyur itu untuk pertama kalinya tahu seperti apakah septic tank dibangun. Bapak berpikir, “Aku, membuat septic tank sedemikian seringnya sampai sudah hapal, gajiku tidak sampai setengah dari anak muda ini!” Makin kagum dia begitu tahu kalau insinyur dari Bali itu berasal dari keluarga miskin.
Peristiwa itu seolah-olah membuka mata pikiran Bapak. Dia yang semula hanya ingin mas Hari menjadi sopir truk atau tukang reparasi, sekarang berpikir, “Lek anakku ora sekolah duwur, putuku sukmben lak dadi tukang becak?” (Kalau anakku tidak berpendidikan tinggi, bisa-bisa nanti cucuku menjadi tukang becak?). Setelah sekian bulan merenung masak-masak, saat pulang dari proyek Bapak berkata dengan amat yakin ke Ibu, “Anak kita harus kuliah!”
Perencanaan pendidikan
Ibu jelas kebingungan dengan luapan semangat suaminya. SD saja dia hanya sampai kelas tiga, mana mungkin mengerti apa itu kuliah. Bapak pun sebetulnya sama bingungnya. Jika tinggal di kota besar, kaya, atau dari keluarga priyayi, urusan kuliah itu mudah saja. Sedangkan Bapak yang miskin, dari kampung dan tidak punya contoh ibaratnya seperti orang buta. Namun Bapak tidak menyerah. Dicarinya info kesana kemari tentang dunia perkuliahan. Paling kasat mata, orangtua kami akhirnya tahu kalau mengkuliahkan anak itu perlu biaya besar. Kalau orang lain mungkin sudah patah semangatnya, Bapak kebalikannya. Justru dia bersemangat untuk ikhtiar mencari dana pendidikan anaknya. Macam-macam pekerjaan dilakukannya. Orangtua kami pun mulai menabung. Saat itu kebetulan ada agen asuransi yang datang ke rumah. Ibu mendaftar, preminya dalam US Dollar. Pilihan ini terbukti tepat, karena saat jatuh tempo, USD telah menguat dengan signifikan.
Tidak hanya dalam hal biaya, faktor-faktor lain tidak lupa disiapkan. Disini saya banyak belajar dan sadar bahwa orangtua kami itu memang sebetulnya pintar. Bapak pernah bilang, untuk bisa berhasil mengkuliahkan anak, diperlukan tiga hal; dana, orangtua yang mendukung, dan anak yang mau diajak kerjasama.
Memang betul, setelah banyak bertanya, Bapak dan Ibu sadar kalau kuliah itu bukanlah sesuatu yang instan, namun memerlukan persiapan yang matang. Maka sejak awal Bapak sudah menetapkan, mas Hari harus sekolah di SMAN 1 Jember, yang terbaik di kabupaten, karena Bapak sudah paham bahwa lingkungan SMA yang kondusif akan melancarkan jalan untuk tembus ke PTN.
Sayangnya harapan itu tidak terwujud. Walaupun mas Hari lulus dengan NEM kedua terbaik ke Kabupaten Jember, kebijakan rayonisasi di kala itu membuatnya tidak bisa sekolah di kota. Dia pun masuk ke SMAN 1 Tanggul yang dekat rumah. SMA itu tidaklah bagus, mas Hari tidak kerasan dan pindah ke SMKN 2 Jember. Kala itu, harapan Bapak sebetulnya sudah hampir pupus. Bagaimana mungkin anak bisa masuk ke PTN kalau sekolahnya di kejuruan? Perlu diketahui, saat itu materi sekolah kejuruan memang berbeda jauh dengan SMA.
Namun orangtua kami tidak menyerah. Terus dididiknya mas Hari supaya tetap punya cita-cita untuk kuliah. Disinilah peran dari seorang anak, harus mau kompromi. Menjelang UMPTN, mas Hari bertanya, “njenengan nopo nggadah setunggal atus ewu?” (Bapak dan Ibu apa punya seratus ribu?) Dia mau ikut bimbingan belajar. Uang itu amat besar bagi orangtua di masa itu. Entah bagaimana akhirnya didapatkan. Mas Hari pun akhirnya diterima di jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya.
Usaha tidak berhenti disitu. Mengkuliahkan mas Hari di Kota Malang tidaklah mudah bagi seorang mandor yang pendapatannya tidak menentu. Maka disini juga diperlukan persiapan dari orangtua. Bapak dan Ibu harus sabar untuk menahan diri. Jangankan sering-sering makan daging, saat itu Ibu sering berhutang beras. Keuangan di rumah menjadi amat ketat, prioritas pertama adalah untuk anak yang sedang kuliah.
Memupuk kesabaran akan gunjingan tetangga juga tidak kalah pentingnya. Tidak kurang saudara-saudaranya sendiri mengejek Bapak karena dianggap menghamburkan uang. Bapak bergeming, dari awal dia sudah punya keyakinan, masa depan anaknya adalah yang terpenting.
Buah manis pendidikan