Bagi orang-orang kampung, hari pertama sekolah amatlah penting. Bukan hanya sekolah formal, anak-anak juga tidak pernah luput diantarkan orangtuanya saat pertama kali mengaji di surau. Bukan karena anaknya takut berangkat sendiri, bukan pula karena anjuran dari pemerintah, memang seperti itulah kearifan lokal yang sudah turun-temurun selama puluhan tahun. Hari pertama sekolah, adalah hari dimana seorang bapak atau ibu memasrahkan anaknya ke guru untuk dididik di sekolah.
Saya pun masih ingat, Ibu mengantarkan saya saat hari pertama masuk SD di bulan Juli tahun 1992. Tidak cukup menemani sampai gerbang sekolah, Ibu sengaja menunggu sampai almarhumah Bu Ngatini datang ke ruang kelas satu. Walaupun tetangga sendiri, Ibu menyempatkan bercakap-cakap dengan bu guru. Saya tidak tahu persis apa yang Ibu ucapkan saat itu. Setelah dewasa dan mendapatkan berbagai cerita, mestinya kira-kira Ibu bilang, “Mulai hari ini anak saya sekolah disini, mohon dapat dibimbing, dan jangan ragu-ragu untuk memarahi kalau dia memang salah.”
Banyak orangtua murid yang berbuat semacam itu. Kebanyakan mereka bercakap dengan ibu guru menggunakan krama inggil (bahasa Jawa halus). Ibu pun tidak terkecuali, meskipun bu Ngatini sebetulnya lebih muda dari dirinya. Ini menunjukkan bahwa di masa itu rasa hormat wali murid terhadap guru amatlah besar.
Sebetulnya ini tidaklah terlalu mengherankan, karena memang dari dulu budaya di Nusantara seperti ini adanya. Tulis Sutan Sati, dalam novelnya yang paling terkenal, “Sengsara Membawa Nikmat” (1929), menceritakan bahwa saat Midun hendak belajar silat, bapaknya menjamu gurunya, Pendekar Sutan, dengan sekalian muridnya. Dalam perjamuan, diketengahkan oleh Pak Midun macam-macam syarat yang lazim masa itu di Minangkabau. Syarat-syarat itu tidak lain adalah kiasan bahwa anak telah dipasrahkan pengajarannya kepada sang guru.
Keterlibatan orangtua
Sikap (gesture) semacam itu, walaupun sederhana sangat dalam maknanya. Orangtua yang menyerahkan anaknya kepada guru, berarti sadar bahwa dirinya tidak mampu untuk mendidik anaknya secara penuh waktu (full-time). Pola pikir semacam ini akan menumbuhkan respek dari orangtua terhadap guru. Di sekolah, seorang guru adalah kepanjangan tangan dari orangtua untuk mendidik buah hatinya. Maka guru telah menjadi mitra bagi orang tua dalam pendidikan anaknya.
Hubungan kemitraan membuat respek orangtua terhadap guru akan coba ditularkan ke anaknya. Saya masih ingat, Ibu sering kali bilang ke anak-anaknya, “Orangtuamu ini tidak bisa mengajari segala macam hal. Jadi, guru-gurumu di sekolah itu hormatilah, seperti hormat kalian ke bapak dan ibu.” Rasa hormat murid ke guru, memang tidak muncul begitu saja. Tentu guru harus senantiasa berperilaku teladan, sehingga murid-muridnya akan menaruh respek. Namun, menjadi tugas orangtua pula untuk memberikan pemahaman semacam ini ke anaknya.
Selain respek, mengantarkan anak ke sekolah dapat menjadi momen dimana orangtua sadar bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Kemitraan membuat hubungan antara orangtua dengan guru tidak hanya bersifat transaksional, dimana wali murid seolah hanya membayar biaya pendidikan, mengirimkan anaknya ke sekolah, dan kemudian hanya menerima jadi hasil didikan guru.
Semahal-mahalnya biaya sekolah, secanggih-canggihnya kurikulum, dasar pendidikan yang terpenting didapatkan di rumah. Seorang murid boleh pandai matematika dan menulis puisi, namun mentalitas biasanya sulit diubah. Kejujuran, tidak mudah menyerah, dan keuletan itu dominan dari hasil didikan orangtua di rumah.
Negara-negara maju, menyadari pentingnya keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak. Di Belanda yang penulis tahu, orangtua seringkali mengantar jemput anaknya di sekolah. Biasanya murid-murid di Belanda baru datang 15-20 menit sebelum kelas dimulai, karena gerbang sekolah memang tidak dibuka dari pagi buta. Dalam tempo itu, sesama wali murid memiliki kesempatan untuk bercakap-cakap. Guru pun, selalu siap untuk meladeni berbagai pertanyaan mereka.
Sekolah-sekolah di Belanda umumnya membuat berbagai kegiatan untuk selalu melibatkan orangtua murid. Misalnya makan malam bersama antara guru, murid, dan orangtua di sekolah, minimal satu semester sekali. Selain itu, jika murid-murid menyelenggarakan pameran kerajinan tangan atau ada perlombaan olahraga, orangtua selalu didorong untuk ikut hadir meramaikan acara.
Faktor pendukung
Dengan berbagai manfaatnya tersebut, “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah” yang dicanangkan Kemdikbud sepantasnya mendapatkan apresiasi. Namun, perlu dilihat apakah kegiatan ini bisa berjalan dengan efektif, supaya manfaatnya dapat semaksimal mungkin.
Di Belanda yang segala sesuatunya sudah teratur, tingginya keterlibatan orangtua dalam pendidikan anaknya di sekolah dimungkinkan karena banyak faktor yang mendukung. Sebagai contoh, di Belanda seorang murid umumnya diwajibkan untuk mendaftar ke sekolah-sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Dengan kebijakan seperti ini, orangtua tidak punya kendala jarak ketika mengantarkan anak sekolah, karena dapat sekaligus dilakukan saat berangkat ke kantor. Sekolah di dekat rumah ini pun dimungkinkan karena sebagaimana galibnya negara maju, kualitas antarsekolah sudah merata. Di Indonesia, tidak bisa disalahkan jika orangtua memilih sekolah yang jauh dari rumah, untuk mengejar mutu. Harus diakui bahwa ketimpangan kualitas antarsekolah masih terjadi. Hal ini menyebabkan munculnya kendala spasial dalam mengantarkan anak. Apalagi di kota besar seperti Jakarta.
Kendala jarak membuat sebagian kantor tidak bisa selalu fleksibel untuk mengizinkan orangtua datang ke sekolah anaknya. Perjalanan bolak-balik kantor ke sekolah, bisa amat memakan waktu. Salah satu alternatif solusinya mungkin adalah memberikan dispensasi khusus untuk pegawai yang memiliki anak usia sekolah. Misalnya dua hari dalam satu bulan, pegawai diberikan jam kerja yang bebas, dengan catatan target pekerjaan tetap dapat diselesaikan, entah dengan mengambil waktu lembur keesokan harinya, atau bekerja di rumah. Jam kerja yang fleksibel ini, menjadi salah satu alasan mengapa frekuensi kedatangan wali murid ke sekolah anak di Belanda bisa amat tinggi.
Penutup
Mengantar anak di hari pertama sekolah merupakan kegiatan yang amat baik. Di dalamnya terkandung filosofi yang dalam, bahwa guru dan orangtua adalah mitra yang tidak terpisahkan dalam mendidik anak. Sebagai mitra, mutual respect antar keduanya dapat memicu banyak hal yang positif. Jika saling menghormati, kerjasama dapat dilaksanakan dengan lebih mudah. Selain itu, berbagai bentuk kemarahan orangtua murid ke guru, yang akhir-akhir ini marak, tidak perlu terjadi lagi. Orangtua yang respek ke guru, akan menyadari bahwa apapun macam perlakuan guru ke anaknya, selama tidak berlebihan, justru merupakan wujud rasa cinta seorang guru terhadap muridnya.
Kita pun tidak boleh melupakan, bahwa peran penting pendidikan dasar terhadap kemajuan suatu bangsa tidak dapat ditawar-tawar. Sehingga melaksanakan pendidikan dasar yang bermutu adalah kewajiban kita semua. Inisiasi dari Kemdikbud ini, adalah sebagian dari usaha untuk mencapainya. Sumber daya manusia yang bermutu jauh lebih berharga dibandingkan emas dan minyak bumi. Untuk itu, ikut terlibat aktif dalam memberikan pendidikan dasar yang terbaik bagi anak-anak kita, menjadi tugas mulia yang diemban setiap orangtua.
Groningen, Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H