Mungkin saat ini kita sampai pada suatu titik dimana kita sangat sulit membedakan antara  sosok seorang polisi dengan sosok seorang penjahat.
Bagaimana mungkin seorang Jendral Bintang Dua Kepolisian yang menjabat Kapolda , seorang perwira tinggi penegak hukum kok malah menjual narkoba kepada masyarakat dimana narkoba itu berasal dari barang sitaan kepolisian dari hasil tangkapan sebelumnya.
Sebelumnya juga seorang Jendral Bintang Dua Polisi dari Divisi Propam (Polisinya Polisi) begitu tega  dan sadis menghabisi ajudannya yang juga seorang polisi. Seorang Jendral penegak hukum yang bertugas di Propam malah demikian mudahnya membunuh bawahannya yang merupakan seorang polisi (Penegak Hukum) juga.
Beberapa waktu sebelumnya juga 2 orang Jendral Polisi terlibat menyelundupkan seorang Buronan Korupsi kelas kakap. Buronan koruptor kakap  yang sekian lama dicari-cari pihak kepolisian ternyata bisa diam-diam keluar masuk ke negeri ini atas bantuan 2 jendral polisi.
Bagaimana bisa semua ini terjadi, pak Jokowi?
Ketika seorang Bintara Polisi menembak temannya yang seorang polisi pasti akan kita sebut sebagai Oknum. Â Ketika 3 orang polisi dikabarkan melakukan perampokan, mungkin masih bisa kita sebut sebagai Oknum yang jahat. Â Juga ketika seorang Kapolsek bersama beberapa bawahannya pesta narkoba, mungkin masih bisa juga disebut Oknum-oknum yang jahat.
Tetapi ketika yang terjadi kemudian, Â ada sekian banyak Jendral Polisi yang melakukan hal-hal yang melanggar hukum, Â apakah masih bisa kita sebut sebagai Oknum? Â Tentu tidak bisa pak Jokowi. Institusi itu jelas bermasalah.
Dan menurut penulis secara pribadi menilai Institusi Polri kita sudah rusak parah, pak Jokowi. Â Dan amat sangat butuh perbaikan besar-besaran. Butuh reformasi besar-besaran di tubuh Kepolisian kita.
Kemarin pak Jokowi sudah memanggil ratusan perwira tinggi polisi seluruh Indonesia dan meminta mereka datang tanpa Ajudan, tanpa HP, tanpa Topi dan Tongkat Komando. Â Kami sudah lihat itu pak Jokowi.
Kami tahu Presiden sudah mencoba sekuat tenaga untuk melakukan semua yang terbaik bagi Polri kita. Dari protocol tanpa Topi, tongkat komando dan tanpa Ajudan itu berarti Presiden meminta perwira-perwira Polri kembali menyadari  posisi mereka bahwa mereka adalah Petugas Negara, Pelayan Masyarakat yang tidak etis sama sekali bergaya hidup Hedonis dan arogan.
Kami juga sudah melihat betapa seriusnya Kapolri Listyo Sigit Prabowo berupaya  menegakkan  Hukum atas Kasus Tewasnya Brigadir J,  berupaya keras menangkap Bos-bos Judi Online, menangkap Jendral yang terlibat Narkoba, memproses polisi-polisi tidak patuh di kasus Tragedi Kanjuruhan dan lain-lainnya.
Presiden dan Kapolri memang sudah begitu serius menangani masalah-masalah di Kepolisian tapi pertanyaannya kemudian, sudahkan akar-akar  masalah dari semua ini ditemukan? Sudahkan ditemukan cara yang terbaik untuk segera membenahi institusi ini?
Mengapa ada Jendral-jendral yang melakukan Kejahatan? Mengapa ada jendral-jendral yang kekayaannya luar biasa? Mengapa sering terjadi  prajurit-prajurit polisi terlihat bengis ke rakyat?  Dan mengapa sangat rendah kepercayaan rakyat terhadap  Institusi ini?
INSTITUSI POLRI SEMAKIN BURUK SETELAH JOKOWI BERKUASA?
Mohon maaf pak Jokowi, menurut penulis memang demikian dimana mungkin dapat disimpulkan Institusi Kepolisian semakin memburuk saja  di era pak Jokowi.
Flashback ke awal tahun 2015. Pada saat itu KPK sedang mendalami Kasus Rekening Gendut Polri dan sempat mentersangkakan Komjen Budi Gunawan. Â Tapi apa yang terjadi kemudian?
Tiba-tiba 2 Komisioner KPK tersangkut kasus tidak jelas yang membuat keduanya harus lengser dari jabatannya.  Kemudian terjadi anti klimaks penegakkan hukum dimana seorang Hakim Pengadilan Negeri  ternyata mampu merubah KUHP dan berhadil memenangkan gugatan prapradilan Budi Gunawan.
Hal-hal itu luar biasa pak Jokowi. Dan kita lihat kemudian, Kasus Rekening Gendut Polri menguap begitu saja. Begitu juga Kasus 2 Komisioner KPK entah bagaimana ceritanya dianggap selesai begitu saja.
Kemudian masuk ke tahun 2017, dalam pengamatan penulis terlihat sekali  Polri sering terlibat dalam hal-hal politik. Sebagai catatan, pada Pilgub DKI 2017 pada saat Pilgub DKI akan digelar tiba-tiba Cawagub AHY yaitu Silvia Murni dipanggil beberapa kali oleh Polda Metro Jaya untuk  Kasus (Katanya) Dugaan Korupsi Pembangunan Masjid.
Pemanggilan itu berdampak pada anjloknya  Elektabilitas AHY. Dan setelah Pilgub DKI 2017 selesai digelar, tidak terdengar sama sekali kasus itu dilanjutkan penyelidikannya apalagi penyidikannya.  Benar tidaknya kasus itu seharusnya tidak perlu dilakukan Pemanggilan Kontestan Pilkada pada saat Pilkada akan/ sedang digelar.
Harus menunggu Pilkada digelar terlebih dahulu karena itu adalah Hak Konstitusi rakyat. Â Setelah Pilkada digelar barulah penyelidikan dapat dilakukan. Bila kontestan itu menang tapi terbukti terlibat kasus korupsi, tentu saja kontestan itu tidak bisa dilantik dan yang akan dilantik jadi kepala daerah adalah kontestan pemenang kedua.
Masuk di tahun 2018, Polri kita terlihat begitu galak dengan barisan Oposisi.  Waktu itu ada aspirasi dan taggar #gantipresiden sehingga banyak sekali larangan orang berkumpul  karena ditakutkan akan mengelindingkan bola salju taggar tersebut.  Neno Warisman kena cekal di Pekanbaru . Malah BIN terlibat dalam urusan aspirasi tersebut.
Lalu menjelang Pilpres 2019 banyak Ustad yang dilarang berceramah oleh ormas-ormas tertentu dimana Polri akhirnya membela ormas-ormas itu dengan alasan untuk menghindari konflik diantara masyarakat. Â Dan akhirnya Kasus Ahmad Dani yang tidak jelas gara-gara tersangkut taggar #gantipresiden, Ahmad Dani divonis 1 tahun penjara.
Dari paparan diatas penulis menyimpulkan : Era Jokowi adalah Era Neo Orde Baru dimana kalau Orde Baru Soeharto menggunakan militer untuk mengendalikan musuh-musuh politiknya sementara era Jokowi menggunakan Polri untuk mengendalikan musuh-musuh politiknya.
Maaf sebelumnya ini hanya pendapat pribadi yang belum pasti kebenarannya.
TIDAK MUNGKIN BERHARAP SEORANG KAPOLRI BISA MENYELESAIKAN CARUT MARUT KEPOLISIAN
Pak Jokowi, menurut penulis masalah institusi Polri ini masalah yang sangat serius. Penulis sama sekali tidak meragukan kemampuan Kapolri  Listyo Sigit Prabowo. Bahkan penulis menilai beliau ini akan tercatat sebagai Kapolri Terbaik dalam beberapa dekade kedepan.
Tapi sehebat-hebatnya Kapolri kita, setegas-tegasnya Kapolri kita saat ini sangat tidak mungkin beliu mampu mengatasi masalah kepolisian dengan tuntas. Ini bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh 1-2 orang atau 1 team sekalipun.
Kita butuh regulasi baru untuk membenahi  Kepolisian kita. Semua akar-akar masalah harus segera dipetakan.  Mungkin menurut penulis kurang lebih seperti  berikut.
Pertama adalah isu Rekruitmen anggota Polri yang kabarnya harus mengeluarkan biaya puluhan juta agar bisa diterima menjadi anggota Polri.
Logikanya kalau itu benar bahwa  memang membutuhkan modal banyak untuk menjadi personil Polri, maka kemungkinan besar setelah menjadi Polri yang bersangkutan akan berupaya mencari kembali modal.  Apakah itu dengan cara kongkalikong dengan pelanggar lalu lintas, apakah itu dengan cara membekingi Bandar judi, apakah itu dengan cara berjualan barang sitaan Negara dan lain-lainnya.
Kedua, Kontrol dan Pengawasan terhadap personil Polri.  Selama ini kita melihat  Kompolnas semampu apa melakukan pengawasan?  IPW sebisa apa mengkoreksi?  Dan Propam Polri sendiri semampu apa?  Faktanya Propam Polri yang terakhir malah terlibat pembunuhan sadis dan dikabarkan terkait dengan konsorsium judi online.
Harus ada regulasi atau pembentukan lembaga baru yang mampu benar-benar mengawasi polisi. Banyak pendapat di masyarakat yang mengatakan  "Polisi tidak penah salah". Kata orang polisi suka bersikap : "Ah gua kan polisi. Siapa yang berani nangkap gua?".  "Teman-teman gua solid semua, kalau gua salah gak mungkin gua nggak dibelain mereka."
Andai isu itu benar maka terjadilah fenomena Polisi tidak ragu-ragu lagi berbisnis hal-hal yang melanggar hukum. Â Tidak ragu lagi bersikap korup dan akhirnya mereka memiliki banyak uang dan bergaya hidup Hedonis. Â
Ketiga, jangan sampai terjadi Institusi Polri dilibatkan dalam masalah politik. Ini berbahaya bagi Demokrasi dan akan menjadi boomerang nantinya dimana Polri akan merasa semakin berkuasa / memiliki power dan ujung-ujungnya lepas control.
Penulis yakin Presiden dan Pembantu-pembantunya tentu punya cara yang lebih baik untuk membenahi kepolisian kita. Â Begitu juga dengan Wakil-wakil rakyat yang ada di Parlemen, tentu mereka akan menemukan cara terbaik untuk membenahi Kepolisian kita.
Demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H