2  kata pada judul tulisan ini yaitu kata "Rejim" dan kata "Ambyar" pasti menjadi "masalah" bagi kalangan Pendukung Jokowi fanatic dan kalangan pendukung/ simpatisan dari  Penguasa yang ada saat ini. Kata Rezim sangat tidak disukai mereka.
Padahal bagi saya  dan orang-orang yang netral  tentu  makna dari kata Rezim  sangat sederhana yaitu  Pemerintahan.  Tidak ada bedanya bagi saya untuk menyebut Rezim SBY , Rezim Soeharto, Rezim Soekarno atau Rezim Jokowi dimana hal itu berarti  Pemerintahan atau Pemerintah yang sedang berkuasa.
Najwa Shihab presenter terkenal kalau tidak salah punya narasi :  "Istana menjadi saksi , Rezim yang datang silih berganti".  Kurang lebih artinya Gedung Istana Merdeka di Gambir  Jakarta Pusat menjadi saksi pergantian pemerintahan sejak zaman Soekarno hingga zaman Jokowi.
Begitu juga Sri Mulyani juga sempat menggunakan kata Rezim. Kalau tidak salah ucapan kekuatirannya bahwa dalam suatu pemerintahan yang baru selalu masih ada DNA dari Rezim Lama, dan seterusnya dimana sekali lagi saya katakan istilah Rezim itu umum digunakan sehingga tidak selalu berkonotasi negative.
Memang harus diakui apabila kita menyebut Rezim Soeharto, Â secara pandangan umum orang bayangan yang ada memang buruk. Â Terbayang ada Pemerintahan yang Otoriter. Â terbayang ada Rezim Militer dan seterusnya dan seterusnya.
Berbeda kesannya bila kita menyebut Rezim Soekarno atau Rezim SBY atau Rezim lainnya. Masing-masing orang punya kesan yang berbeda satu sama lain. Orang hanya mencatat pernah ada Rezim Soekarno, Rezim Mega, Â dan Rezim SBY. (Untuk pemerintahan Habibie dan Gus Dur memang sulit menyebutnya sebagai Rezim karena periodenya dibawah 2 tahun).
Lalu bagaimana dengan Rezim Jokowi, apakah rezim ini  berkesan buruk atau baik?  Ya tentu saja Jawabannya  tergantung sejarah yang mencatat.  Sejarah negeri ini yang akan mencatat di masa mendatang Rezim Jokowi itu baik atau buruk. Kita tunggu saja 5-10 tahun ke depan.
JOKOWI DAN REJIM JOKOWI Â DI MATA SAYA PRIBADI
Jejak Digital dari saya pribadi bisa membuktikan bahwa saya bukanlah Jokowi Hater. Tahun 2012 cukup banyak postingan saya yang berisi dukungan pada Jokowi dalam kontestasi Pilgub DKI 2012. Â
Setahun berikutnya, tahun 2013 beberapa tulisan saya juga mendukung penuh bagaimana cara Jokowi-Ahok memimpin DKI. Dan ujungnya awal tahun 2014 saya ikut dalam perang opini di berbagai medsos dimana saya berusaha memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014.
Tapi kemudian sejak terjadinya Kasus Cicak Vs Buaya Jilid 3 tahun 2015 yang berakhir secara kontroversial, kemudian ditambah lagi kebijakan-kebijakan Jokowi  sesudahnya yang jauh dari sikap pro rakyat akhirnya membuat saya berhenti menjadi pendukung fanatic Jokowi.
Sejak tahun 2016 saya mulai menyadari bahwa Jokowi bukanlah Real Presiden. Sejak saat itulah saya mulai mengkriti Jokowi.
SBY yang dulu saya anggap parah dan sering saya kritik karena tersandera kepentingan politik partai pendukungnya ternyata sedikit lebih baik dari Jokowi  dimana selain tersandera kepentingan politik partai pendukung, Jokowi malah sangat terkesan dikendalikan Partainya.  Mungkin Jokowi dianggap oleh Partainya sendiri sebagai Petugas Partai, ya saya tidak tahu persis.
Faktanya kemudian ternyata Jokowi berhasil memenangkan Pilpres 2019. Ini membuat saya menjadi was-was. Apakah Jokowi bisa memperbaiki kinerjanya di Periode Kedua  atau tidak, apakah kepemimpinan Jokowi  bisa  kembali seperti sebelumnya (sewaktu menjadi  Walikota Solo dan sewaktu menjadi Gubernur DKI) yang selalu mendengar aspirasi rakyat ataukah tidak.
Dalam 3 tahun terakhir  menjelang berakhirnya Periode Pertama Pemerintahan Jokowi saya sudah mulai mengambil kesimpulan bahwa Rezim Jokowi ini adalah Rezim Anti Kritik. Jangankan saya yang bukan siapa-siapa, banyak tokoh terkenal dan banyak pakar hukum terkenal  berkali-kali mengkritisi  kebijakan-kebijakan Jokowi. Sayangnya semua kritikan itu tidak mempan.
Repotnya lagi dalam beberapa tahun terkahir ini:  siapapun yang mengkritik Jokowi  pasti beresiko dibully habis-habisan oleh para pendukung Jokowi.  Setiap ada kritikan kepada pemerintahan Jokowi  langsung saja yang mengkritik dianggap sebagai pendukung Prabowo, dianggap sebagai pendukung PKS, dianggap sebagai pendukung FPI dan lain-lainnya.
Begitu juga dengan elit-elit yang berkuasa. Setiap ada kritikan yang datang pada pemerintahan Jokowi selalu dicounter dengan buruk.  Narasi yang dibangun para elit itu  adalah terdeteksi  ada pihak-pihak yang ingin mengganggu kredibilitas pemerintahan.  Kondisi itu yang akhinya menimbulkan kesan bahwa  Pemerintahan Jokowi  memang  Pemerintahan yang selalu  merasa  paling benar.
Bahkan merekapun kemudian memasang orang sekelas Ali Ngabalin sebagai Jubir Istana untuk "menggonggong" siapa saja yang berani mengkritik Pemerintah.
Dan akhirnya setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden RI 2019-2024 hal yang saya tunggu adalah susunan kabinetnya.  Sudah was-was sebelumnya bahwa Susunan Kabinet akan berisi lebih banyak para politisi pendukung dibanding professional.  Menurut saya inilah titik yang bisa membuktikan Jokowi akan  kembali memiliki kepemimpinannya seperti saat  menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI atau tetap menjadi Presiden yang terbelenggu oleh kepentingan pihak-pihak di belakangnya.
Faktanya yang terjadi kemudian Susunan Kabinet memang tidak berubah seperti Periode Pertama. Pihak-pihak yang berjasa pada Pilpres 2019 lah yang diakomodir Jokowi untuk mengisi posisi-posisi penting  di kabinetnya. Bahkan Jokowi tidak perduli betapa gemuknya kabinetnya saat ini.
Sejak  Jokowi mengumumkan kabinetnya, sejak saat itulah saya merasa sudah saatnya berhenti untuk mengkritik Jokowi. Sudah tidak ada gunanya lagi.
REZIM JOKOWI KEMUNGKINAN BESAR TERCATAT SEJARAH SEBAGAI REZIM YANG BURUK
Ini adalah opini pribadi  saja.  Hanya sebuah analisa dari Pengamat Politik Amatir non Partisan saja. Tidak perlu ditanggapi serius.
Kembali ke kata Ambyar sebagai  istilah popular saat ini. secara kamus pribadi menurut saya, Ambyar itu artinya Berantakan.  Ya begitulah, yang terlihat oleh saya secara pribadi pemerintahan Jokowi  lambat laun mengarah kesana.  Coba simak yang berikut :
Yang pertama adalah KPK.
Semakin hari semakin banyak kita dipertontonkan dengan Dagelan demi Dagelan yang dilakukan Pimpinan KPK (yang terpilih oleh DPR era Jokowi). Begitu 1 bulan mulai bekerja sudah terjadi berkali-kali kontroversi. Mulai dari Kasus Harun Masiku, lenyapnya Tersangka mantan Sekretasri MA hingga yang terakhir diberhentikannya  36 Kasus Hukum  yang ada di KPK. Saya malah yakin besok-besok akan semakin banyak kontroversi yang dilakukan pimpinan KPK yang ada.
Flashback sebentar, tentu kita masih ingat Proses Penggolan UU KPK yang baru ini yang sudah menimbulkan gelombang demo mahasiswa dan korban berjatuhan. Â Jokowi yang sempat berjanji akan mempertimbangkan Perppu UU KPK ternyata hanya PHP saja. Â Tidak jelas sama sekali apa yang sudah dipertimbangkan oleh Presiden kita ini terhadap UU KPK yang sudah tidak terhitung banyaknya diprotes dan dikritik berbagai pihak.
UU KPK yang baru yang sudah berlaku memang membuktikan bahwa sekali lagi terbukti bahwa Pemerintahan Jokowi memang tidak bisa dikritik rakyat. Â Tidak ada artinya kritik dari tokoh dan rakyat, begitu juga dengan demo mahasiswa. Â Rakyat harus menerima apapun yang sudah ditetapkan Pemerintah yang sah. Â (Jadi mulai mirip-mirip Orde Baru).
Yang Kedua tentang 100 hari pemerintahan Jokowi-Maruf .Â
 Ternyata 100 hari pemerintahan Jokowi-Maruf  sepi dari prestasi tapi heboh dengan manuver-manuver para menteri yang ada maupun pejabat tinggi yang ada. Menteri Agama beberapa kali kontroversi, Menteri Pendidikan juga begitu, Menkumham juga sama, dan menteri lainnya hingga Kepala BPIP.  Semuanya heboh dengan pernyataan-pernyatan public yang dangkal  tapi sepi dari gebrakan sebagai pejabat yang seharusnya mulai bekerja dengan baik.Â
Dalam 100 hari bisa dikatakan hanya  Menteri BUMN , Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan yang terlihat sibuk bekerja sementara yang lain terkesan ogah/ belum bergerak dan lainnya lagi malah sibuk bikin kehebohan. Sudah ambyar belum, saya tidak tahu.
Yang Ketiga munculnya Kasus-kasus Big  Korupsi
Awal tahun 2020, 2 bulan setelah Jokowi dilantik, menyeruaklah  kasus Jiwasraya dan Kasus Asabri. Kerugian negara melebihi kerugian negara atas kasus BLBI.  Ternyata selama beberapa tahun terakhir  mulai dari Ambyarnya BPJS  hingga  banyaknya BUMN-BUMN  terancam bangkrut itu belum cukup sehingga munculah Kasus Jiwasraya dan Asabri.
Kok bisa terjadi Kasus Jiwasraya di rezim Jokowi? Siapa saja yang menjadi Direksi dan Komisarisnya dan siapa saja pihak-pihak yang terlibat membobol keuangan BUMN ini? Â Kemungkinan besar mereka-mereka ini punya kedekatan dengan Penguaa yang ada sehingga tidak mampu terdeteksi secara dini adanya kasus ini.
Terus terang saja saya pesimis Kasus ini bisa diselesaikan oleh Rezim saat ini. sama halnya dengan  pesimisnya saya tentang masa depan KPK di Rezim yang sangat dibanggakan oleh sebagian kalangan masyarakat kita saat ini.
Terakhir ( Yang Keempat) adalah Omnibus Law (UU Sapu Jagad)
Omnibus Law beberapa bulan lalu sempat digadang-gadangkan Jokowi sebagai Solusi untuk mengefektifkan Periode Kedua Kepemimpinannya. Â Berkali-kali Jokowi menyebut Omnibus Law sebagai solusi terbaik untuk memangkas jalur birokrasi yang tidak efektif, menciptakan lapangan kerja seluasnya , mempercepat pertumbuhan ekonomi dan lainnya.
Saat saya menonton berita di TV berkali-kali  Jokowi  mensosialisasikan akan datangnya UU besar bernama  Omnibus Law yang akan menganulir banyak UU sebelumnya  yang tidak efektif,  dalam hati saya mengatakan mudah-mudahan saja benar seperti itu dan mudah-mudahan saja RUU nya  tidak kontroversial seperti halnya beberapa RUU  dan  UU KPK yang ditolak keras masyarakat luas pada  tahun lalu.
Sayangnya harapan itu kembali hanya tinggal harapan saja. RUU Omnibus Law sangat bermasalah, terutama yang terkait RUU Cipta Lapangan Kerja. Sangat kontroversial seperti halnya UU KPK yang baru. RUU ini cenderung hanya memanjakan para para investor tanpa perduli dengan nasib buruh.
Berkaca dari UU KPK baru yang dipaksa Rezim ini supaya berlaku tanpa memperdulikan gelombang demo mahasiswa dan hujan kritik, berkaca juga pada ngasalnya DPR periode sebelumnya yang menggolkan sekian banyak RUU bermasalah dan kontroversial, sepertinya RUU  Omnibus Law ini juga akan dipaksakan untuk berlaku secepatnya. Dan ini bisa jadi akan menambah terjadinya  krisis politik nasional.
NEGERI INI BERPOTENSI TERANCAM KRISIS POLITIK NASIONAL.
Sebagai alinea penutuh saya ingin menggambarkan kekuatiran saya akan kemungkinan terjadinya Krisis Politik Nasional dalam pemerintahan Jokowi.
Rezim ini secara sederhana kontruksinya sudah mirip Rezim Orde Baru. Pihak-pihak yang ada di Pemerintahan adalah Pihak-pihak yang sama yang juga ada di Parlemen. Partai-partai penguasa DPR adalah partai-partai yang menguasai Pemerintahan.Â
Apa yang bisa kita harapkan dari kondisi seperti ini?
Setiap kebijakan Pemerintah akan didukung tanpa syarat oleh DPR karena memang mereka satu pihak.  Semua UU yang akan dibuat oleh DPR pun dipastikan  sangat mengakomodir  keinginan pemerintah (Partai yang berkuasa).
Lihatlah KPK yang sekarang. Lihatlah proses seleksi Capim KPK dimana yang mengusulkan dan yang mengesahkan adalah pihak yang sama. Â Lihatlah UU KPK yang sekarang dimana yang mengusulkan dan yang mengesahkan adalah pihak yang sama.
KPK yang sekarang yang kontroversial  membuktikan bahwa Rezim ini memang tidak perduli dengan Korupsi. Begitu juga pelanggaran HAM dan lainnya.
Semua UU yang akan datang dipastikan juga akan sama prosesnya. Yang mengusulkan dan yang mengesahkan adalah pihak yang sama.  Bahkan di Draft Omnibus Law ada pasal-pasal yang menyebut Pemerintah Pusat berwewenang menganulir UU Pemerintah Daerah.  Ini  berpotensi  membuat konflik antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dalam beberapa tahun terakhir Rezim Jokowi sudah banyak mengecewakan kalangan rakyat kecil dengan mencabut subsidi BBM dan Listrik. Kinerja Jokowi di periode pertama itu buruk. Pertumbuhan Ekonomi sangat minim, Lapangan Kerja sangat sulit, Ekonomi Lesu, Retail-retail raksasa gulung tikar, BUMN-BUMN merugi, Hutang Luar Negeri  semakin membengkak, cadangan devisa terburuk  dan lain-lainnya.
Yang dikuatirkan akan terjadi krisis politik nasional seperti di zaman Soeharto. Â Saat itu ekonomi sangat sulit dihantam Krisis Moneter. Â Korupsi meraja-lela. Ketidak adilan terjadi dimana-mana. Â Rakyat tidak boleh bersuara. Â Dan akhirnya meletuslah Reformasi 1998.
Rezim yang sekarang juga sudah mulai mirip Orde Baru. Pemerintah sesuka hati membuat UU tanpa memperdulikan aspirasi masyarakat. Pemerintah tidak perduli dengan rakyat kecil, tidak perduli dengan nasib buruh, tidak perduli dengan ketidak-adilan, tidak perduli dengan Korupsi dan Penegakan hukum dan lain-lainnya.  Krisis Politik Nasional  sangat berpotensi terjadi.
Semoga saja Demokrasi  kita tidak Ambyar, Ekonomi juga tidak semakin ambyar dan pemerintahan kita tidak semakin ambyar.
Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H