Perbedaan antara Pemilu Presiden dengan Pemilu Legislatif adalah Pemilu Presiden merupakan pemilu dengan proses memilih Ketokohan seseorang sementara Pemilu Legislatif adalah Proses Memilih dengan mempertimbangkan Tokohnya dan Partainya.
Dengan beda seperti itu maka bila ada 2 kandidat bertarung di Pilpres maka berapa banyak partai yang mendukung masing-masing calon tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kekuatan dari capres-cawapres. Kondisi ini juga berlaku untuk Pilkada-pilkada yang ada.
Contoh pada Pilpres 2014 Jokowi didukung 3 Partai Besar dan Prabowo didukung 6 Partai besar. Faktanya Jokowi yang menang. Begitu juga dengan Pilkada-pilkada yang sudah terjadi. Calon Gubernur, calon Bupati yang didukung partai yang lebih banyak ditambah lagi didukung partai pemenang pemilu belum tentu akan menang.
Karena Pilgub, Pilbup dan Pilpres memang yang dipilih adalah Ketokohan Kontestannya sehingga mesin politik partai tidak akan bisa menjadi factor utama dari kekuatan politik Capres-cawapres. Malah saya asumsikan Mesin Parpol hanya efektif sekitar 20% untuk menambah perolehan suara Capres-cawapres.
Tapi harus diingat juga, mesin parpol akan menjadi kekuatan politik sebenarnya ketika Presiden sudah dilantik dimana Parpol-parpol yang mendukung akan berada di parlemen sehingga memperkuat posisi tawar eksekutif.
Bisa dikatakan Pilpres Indonesia adalah Pilpres yang paling Demokratis diantara negara-negara demokrasi lainnya karena kondisi One Man One Vote-nya. Faktor inilah yang membuat Faktor Personal Branding menjadi Isu Paling Utama.
Pilpres 2014 adalah bukti kemenangan Personal Branding Jokowi terhadap Personal Branding Prabowo. Oleh sebab itu seperti yang sudah saya sampaikan di artikel-artikel sebelumnya, Media Sosial seharusnya menjadi Lapangan Pantau apakah Personal Branding seorang Capres memang tinggi atau rendah.
Selain Media Sosial tentu saja tolok ukur yang harus dipakai adalah Survey Elektabilitas. Sayangnya saya menduga dalam 2 tahun terakhir banyak pihak yang bermain di lembaga-lembaga survey sehingga hasil surveynya menjadi tidak akurat.Â
Artikel saya yang terakhir sudah membahas fenomena itu dimana untuk Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 banyak Lembaga Survey yang meleset hasil survey Elektabilitasnya mencapai angka 20% melesetnya dari Hasil Pengumuman KPUD.
Kembali ke isu One Man One Vote, Jokowi sebagai Petahana harus hati-hati. Personal Branding yang sudah terbangun untuk Jokowi pada tahun 2014 (sebagai contoh) adalah Bersih, Jujur, Merakyat dan Fokus Bekerja.