mobil pejabat dengan pengawalan bak pahlawan perang.
Semua pengguna jalan pasti pernah mengalami hal ini. Lagi enak-enak nyetir tiba-tiba dari belakang terdengar suara... woop woop.. totooottttt! Wah, suasana yang tadinya santai berubah jadi kepanikan. Mobil kamu minggir, motor-motor berhamburan, sementara dari kejauhan munculIni bukan lagi cerita langka. Jakarta semakin dipenuhi mobil-mobil pribadi dengan sirene, rotator, dan strobo. Entah itu RI sekian, anggota dewan, atau mungkin orang berduit yang bisa bayar jasa pengawalan. Yang jelas, buat kita warga biasa, sensasi melihat itu campur aduk antara sebal dan ketawa.
Sirene atau Pengingat Kemiskinan?
Ada hal lain yang bikin miris. Setiap kali mobil pejabat lewat dengan pengawalan, sirene itu nggak cuma berbunyi woop woop.. totoottttt. Buat sebagian dari kita, bunyinya berubah jadi, "Woi orang miskin, minggir lu!".
Mereka yang ada di balik kaca gelap mobil mahal itu mungkin lagi nonton Netflix, rapat virtual, atau mungkin tidur siang. Sementara kita? Di luar masih sibuk mengeluh soal harga sembako yang naik.
Seolah-olah hidup kita dihentikan sebentar, hanya untuk memberi ruang bagi mereka yang konon katanya lebih penting. Sebuah kontradiksi di mana kita yang bayar pajak, tapi kita juga yang disuruh minggir.
Realitanya, jalanan Jakarta jadi panggung drama sehari-hari. Kita yang warga biasa harus belajar sabar, entah itu karena macet, atau karena mobil pejabat yang melaju seenaknya. Semakin banyak yang dikawal, semakin sering kita dipaksa mengalah.
Di Mana Hati Nurani?
Pernah nggak sih kamu bertanya, "Kenapa mereka nggak pernah berhenti buat melihat kita?" Maksudnya bukan berhenti secara harfiah, tapi lebih ke berhenti dan peduli.
Dari dalam mobilnya yang kedap suara, mereka mungkin nggak dengar suara pengguna jalan yang ngedumel. Tapi mereka juga nggak dengar suara kemiskinan, suara protes, atau bahkan suara harapan.
Mungkin kita butuh lebih banyak pejabat yang mau turun langsung, bukan cuma lewat dengan sirene. Pejabat yang tidak cuma peduli kecepatan sampai tujuan, tapi juga perjalanan yang dilalui.Â
Jadi Solusinya Apa?
Yah, kita tahu tidak semua pejabat begitu. Ada juga yang benar-benar menggunakan fasilitas pengawalan untuk urusan penting. Tapi jumlahnya makin hari makin sedikit. Yang banyak justru yang pakai alasan, "Kan sudah dapat fasilitas."
Sebagai warga biasa, tidak banyak yang bisa kita lakukan selain sabar. Tapi kalau mau lebih tegas, coba deh mulai dari diri sendiri. Misalnya, saat pemilu lima tahun mendatang, pilihlah yang benar-benar peduli. Bukan yang cuma pamer fasilitas.
Atau mungkin kita bisa usulkan aturan baru. Misalnya, pejabat hanya boleh dikawal jika ada keadaan darurat. Sisanya? Ya silakan nikmati macet Jakarta seperti kita semua.
Karena kita semua cuma ingin hidup lebih tenang. Kalau pun ada pejabat yang lewat, sirene mereka tidak perlu jadi pengingat bahwa kita orang kecil. Kita cuma ingin mereka ingat bahwa jalanan milik semua orang, bukan cuma mereka yang punya jabatan.
Jakarta akan terus macet, itu fakta. Tapi kalau semua orang bisa saling menghormati, termasuk pejabat, setidaknya perjalanan kita tidak terasa seberat ini.
Jadi lain kali kamu dengar woop woop.. totooottttt, anggap saja itu soundtrack-nya jalanan Jakarta. Tapi diam-diam, berharaplah mereka juga belajar untuk berhenti. Bukan di lampu merah, tapi untuk mendengar kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H