Tapi nggak sedikit juga yang skeptis. "Apa nggak salah, ngasih panggung buat orang kayak dia?"
Bahkan akan selalu ada gurauan dari netizen yang kembali menyenggol kasusnya dulu. Contohnya, "Wah ini kalau makanannya nggak enak, tukang masaknya bisa jadi menu selanjutnya."
Konten mukbang Sumanto memang memicu debat. Beberapa netizen melihatnya sebagai hiburan ringan. Yang lain menganggap ini eksploitatif, seolah-olah masa lalunya dijual demi klik dan views. Tapi bagaimanapun, jumlah followers-nya terus naik. Entah karena penasaran atau memang suka kontennya, Sumanto jelas berhasil menarik perhatian.
Etika dalam Konsumsi Konten
Namun seberapa jauh etika dalam konsumsi konten harus diperhatikan? Kasus Sumanto ini contoh sempurna. Di satu sisi, dia punya hak untuk menjalani hidupnya dan mencari nafkah.
Tapi di sisi lain, ada pertanyaan besar tentang apakah masyarakat terlalu mudah memaafkan atau malah terlalu sibuk menghakimi.
Sebagai penonton, kita punya peran besar dalam menentukan arah narasi ini. Kalau konten Sumanto dianggap layak ditonton, berarti dia berhasil menunjukkan bahwa masa lalu tidak selalu menentukan masa depan.
Namun kalau kamu merasa nggak nyaman, itu juga valid. Intinya, konsumsi konten adalah pilihan pribadi.
Masa Depan Sumanto di Dunia Digital
Apakah Sumanto bisa bertahan sebagai konten kreator? Itu tergantung. Dunia digital bergerak cepat. Popularitas bisa naik dalam semalam, tapi juga bisa hilang seketika.
Sumanto harus kreatif, bukan cuma mengandalkan masa lalunya. Kalau dia bisa mengubah narasi dari sensasi jadi inspirasi, mungkin perjalanannya akan lebih panjang.
Misalkan saja suatu hari nanti Sumanto mulai membuat konten edukasi tentang memaafkan diri sendiri atau pentingnya hidup bermasyarakat. Mungkin terdengar idealis, tapi bukan nggak mungkin. Semua orang punya peluang untuk berubah, kan?
Akhir Kata
Kisah Sumanto adalah pengingat bahwa manusia itu kompleks. Dia membuktikan bahwa masa lalu, sekelam apa pun, bukan berarti akhir dari segalanya.