Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Man (XY) and A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Putaran Kedua Sama dengan Pemborosan

1 Desember 2024   09:26 Diperbarui: 1 Desember 2024   09:28 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana saat pencoblosan di TPS (Sumber:tangerangkota.go.id)

Pemilihan umum selalu jadi momen yang seru sekaligus bikin harap-harap cemas. Kita dihadapkan pada janji-janji perubahan dari para calon pemimpin, tapi juga tak bisa lepas dari drama dan dinamika politiknya.

Namun untuk Pilkada Jakarta kali ini, saya punya harapan sederhana: semoga selesai di satu putaran. Saya tidak peduli siapa yang menang, tapi lebih kepada alasan praktis biar hemat waktu, tenaga, dan tentu saja uang. Kalau dilihat dari partisipasi pemilih saja, rasanya pilkada kali ini sudah kehilangan gregetnya. 

TPS yang Sepi Bukti Kurang Antusiasnya Pemilih 

Di TPS tempat saya, suasananya jauh dari kata ramai. Dari 588 orang yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), hanya 386 yang datang mencoblos. Sisanya? Entah sedang sibuk, malas, atau memang memilih untuk tidak peduli. Itu berarti ada 202 surat suara yang terbuang begitu saja. 

Begitu pula dengan beberapa TPS lain di sekitaran wilayah saya, kondisinya sama. Jika beberapa TPS saja sudah seperti itu, bagaimana dengan ribuan TPS lainnya di Jakarta?

Berapa banyak kertas, tinta, dan logistik lain yang akhirnya sia-sia? Padahal semua itu pakai anggaran negara alias uang rakyat. Termasuk uang saya, uang kamu, dan uang kita semua. 

Petugas TPS juga tidak kalah lelah. Mereka harus datang sejak pagi, mengatur segalanya hingga malam, hanya untuk menyaksikan banyak surat suara yang harus dirusak karena tidak terpakai. 

Ada rasa miris melihat usaha mereka yang begitu besar, tapi tidak diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Ibaratnya sudah menyiapkan sebuah pesta yang meriah, tapi yang datang tidak banyak.

Kenapa Banyak yang Tidak Datang? 

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa sih tingkat partisipasi pemilih bisa serendah itu? Dari yang saya perhatikan, ada beberapa kemungkinan: 

  • 1. Jenuh dengan Politik 

Banyak orang sudah lelah dengan dunia politik. Apalagi Pilpres belum jauh berlalu. Janji-janji yang terdengar manis sering kali tidak sejalan dengan realita. Akhirnya, orang-orang memilih tidak peduli. 

  • 2. Kurangnya Sosialisasi 

Tidak semua orang paham tentang siapa saja pasangan calon yang bertarung, apalagi soal visi dan misi mereka. Kalau tidak tahu apa-apa, buat apa datang mencoblos? 

  • 3. Sibuk atau Bukan Prioritas 

Bagi sebagian orang, pergi mencoblos berarti mengorbankan waktu bekerja atau mengurus keluarga. Ada yang merasa itu bukan sesuatu yang layak diperjuangkan. 

  • 4. Rasa Apatis 

Ini yang paling bikin sedih. Banyak yang berpikir, "Siapa pun yang menang, hidup saya bakal gini-gini aja." Kalau sudah ada pola pikir seperti ini, sulit rasanya mengubah keadaan. 

Putaran Kedua, Apa Perlu? 

Menurut UU, kalau tidak ada pasangan calon yang meraih lebih dari 50% + satu suara, mau tidak mau akan ada putaran kedua. Terus terang, menurut saya ini hanya akan memperbesar pemborosan. 

Semua harus dimulai dari awal: cetak surat suara baru, siapkan logistik, rekrut ulang petugas, dan biaya kampanye paslon yang pasti membengkak. Itu semua menggunakan anggaran besar. Belum lagi tenaga dan waktu yang terbuang untuk persiapan, pelaksanaan, hingga rekapitulasi. 

Selain itu, putaran kedua juga sering kali menambah tensi politik di masyarakat. Perdebatan makin panas, polarisasi makin tajam, dan konflik kecil di lapangan bisa saja muncul. Demokrasi yang seharusnya menyatukan, justru rawan memecah belah. 

Harapan untuk Jakarta 

Sebagai warga Jakarta, tentu saya ingin pilkada ini membawa perubahan positif, siapa pun yang menang. Tapi harapan saya lebih dari itu: semoga prosesnya tidak berlarut-larut dan membebani semua pihak. 

Kalau bisa selesai di satu putaran, kenapa harus dua? Kita bisa menghemat anggaran, tenaga, dan juga menjaga suhu politik tetap adem. 

Akhirnya, siapa pun yang terpilih, tugas berat menanti mereka. Tapi tugas kita sebagai warga juga tidak kalah penting: mendukung dengan cara yang sehat, dan yang terpenting tidak menyerah untuk terus berharap. Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun