Bagi sebagian orang, pergi mencoblos berarti mengorbankan waktu bekerja atau mengurus keluarga. Ada yang merasa itu bukan sesuatu yang layak diperjuangkan.Â
- 4. Rasa ApatisÂ
Ini yang paling bikin sedih. Banyak yang berpikir, "Siapa pun yang menang, hidup saya bakal gini-gini aja." Kalau sudah ada pola pikir seperti ini, sulit rasanya mengubah keadaan.Â
Putaran Kedua, Apa Perlu?Â
Menurut UU, kalau tidak ada pasangan calon yang meraih lebih dari 50% + satu suara, mau tidak mau akan ada putaran kedua. Terus terang, menurut saya ini hanya akan memperbesar pemborosan.Â
Semua harus dimulai dari awal: cetak surat suara baru, siapkan logistik, rekrut ulang petugas, dan biaya kampanye paslon yang pasti membengkak. Itu semua menggunakan anggaran besar. Belum lagi tenaga dan waktu yang terbuang untuk persiapan, pelaksanaan, hingga rekapitulasi.Â
Selain itu, putaran kedua juga sering kali menambah tensi politik di masyarakat. Perdebatan makin panas, polarisasi makin tajam, dan konflik kecil di lapangan bisa saja muncul. Demokrasi yang seharusnya menyatukan, justru rawan memecah belah.Â
Harapan untuk JakartaÂ
Sebagai warga Jakarta, tentu saya ingin pilkada ini membawa perubahan positif, siapa pun yang menang. Tapi harapan saya lebih dari itu: semoga prosesnya tidak berlarut-larut dan membebani semua pihak.Â
Kalau bisa selesai di satu putaran, kenapa harus dua? Kita bisa menghemat anggaran, tenaga, dan juga menjaga suhu politik tetap adem.Â
Akhirnya, siapa pun yang terpilih, tugas berat menanti mereka. Tapi tugas kita sebagai warga juga tidak kalah penting: mendukung dengan cara yang sehat, dan yang terpenting tidak menyerah untuk terus berharap. Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H