Nicholas merasa tubuhnya semakin lelah, pikirannya semakin berat seiring ia menyelami lebih dalam kisah Victoria. Malam-malam di Bukit Echo tidak pernah terasa tenang.
Di setiap sudut wilayah yang sunyi itu, seolah-olah ada suara-suara yang berbisik, menyeretnya kembali ke tragedi yang menghantui masa lalu. Panggilan itu semakin jelas, panggilan yang mengarahkannya pulang, ke tempat di mana semuanya dimulai dan mungkin juga berakhir.
Semakin Nicholas mengenal Victoria melalui kilasan-kilasan mimpi dan ingatan yang menghantui malam-malamnya, semakin dia merasakan koneksi yang tak dapat dijelaskan.
Victoria bukan sekadar hantu masa lalu. Ia adalah cerminan dari sesuatu yang lebih pribadi, sesuatu yang Nicholas belum sepenuhnya pahami.
Malam itu, Nicholas bermimpi lagi. Kali ini tidak ada kabut atau bayangan samar. Semua tampak nyata. Ia berjalan di sebuah kota dengan jalan-jalan beraspal yang gelap.
Suasana kota itu dingin, terasa seperti kampung halamannya, namun bukan kota yang Nicholas kenal. Ia menyusuri gang-gang sempit, mendengar suara-suara yang memanggil dari kejauhan.
"Pulanglah Nicholas, di sini bukan tempatmu," suara itu menggema di pikirannya.
Nicholas berhenti di sebuah persimpangan. Di depannya ada seorang wanita dengan gaun putih panjang, berdiri dengan tenang di tengah jalan. Wajahnya samar, tapi Nicholas tahu siapa dia---Victoria.Â
Victoria menoleh dan tersenyum sambil menyampaikan sesuatu ke Nicholas.Â
"Aku tahu kau mencariku. Tapi jawabannya bukan di sini. Kebenaran ada di rumah. Rumah... yang selama ini kau abaikan," bisik Victoria dalam benak Nicholas.