Saya nggak mau ngomel panjang lebar, tapi kalau aturan tarif KRL berdasarkan NIK jadi diterapkan, saya sebagai konsumen menuntut harus dapat lebih dari sekadar kursi dan AC.
Iya benar, ini mungkin langkah buat lebih tertib dan mengurangi dempet-dempetan. Kalau saya diminta bayar lebih, berarti saya juga punya hak untuk menuntut fasilitas yang lebih baik. Fair ya?Â
Atau bagaimana kalau jalankan lagi saja KRL Pakuan biar bisa bernapas lebih lega saat jam berangkat/pulang kantor?
Lebih Mahal, Minta Lebih!
Menyesuaikan tarif KRL berdasarkan NIK, idenya adalah biar subsidi tepat sasaran. Tapi apakah kita siap dengan sistem yang benar-benar adil?
Kalau saya harus bayar lebih, saya juga akan minta lebih. Itu logika sederhana. Saya tidak mau bayar mahal tapi tetap berdiri desak-desakan di antara gerombolan manusia ketika jam padat.
Jadi saya ingin fasilitas yang layak. Mulai dari jaminan ketersediaan tempat duduk sampai tidak harus berdesakan di stasiun. Kalau sudah ada perbedaan tarif, mestinya ada perbedaan kualitas pelayanan juga, sama seperti ketika naik kereta kelas ekonomi dengan eksekutif. Jangan sampai cuma harga yang beda, tapi pelayanannya tetap sama.
Balik Lagi ke Era KRL Pakuan
Oke, kalau kita mau ngomong soal kenyamanan dan nostalgia, siapa yang ingat KRL Pakuan? Waktu itu, KRL Pakuan jadi pilihan banyak orang buat perjalanan lebih nyaman dan bebas dari hiruk-pikuk. Dengan tarif yang lebih mahal, pastinya orang yang memilih kereta ini juga punya ekspektasi lebih. Mereka rela bayar lebih demi kenyamanan ekstra, dan hasilnya memang sebanding.
Kalau tarif baru ini diberlakukan tapi pelayanannya tidak ada bedanya, ya saya bakal protes. Kenapa nggak sekalian saja jalankan lagi KRL Pakuan?
Setidaknya, mereka yang inginn lebih nyaman bisa punya opsi. Tidak perlu rebutan kursi atau berdiri sepanjang jalan sambil desak-desakan. Di sini kita bisa duduk dengan tenang sambil menikmati perjalanan yang lebih manusiawi.
Bukan Cuma Soal Tarif, Tapi Juga Pelayanan
Intinya, kalau aturan tarif berdasarkan NIK ini benar jadi kenyataan, kita sebagai penumpang harus lebih kritis dalam menuntut hak. Bukan cuma bayar lebih mahal, tapi juga pastikan kita dapat pelayanan yang lebih.
Sistem tarif berdasarkan NIK tentunya butuh penyesuaian dan pendataan lagi. Apalagi sistem ini pasti membutuhkan keandalan yang tinggi. Jangan sampai ada NIK yang tidak terdaftar atau kesalahan input yang bikin orang salah tarif. Bisa kacau banget kalau tiba-tiba NIK kamu dianggap tidak berhak dapat subsidi padahal sudah sesuai. Kejadian seperti ini bakal memicu banyak masalah baru.
Dan kalau KAI Commuter memang ingin membuat perubahan besar, kenapa nggak sekalian saja jalankan lagi KRL Pakuan? Setidaknya, orang yang bersedia bayar lebih punya opsi buat dapatkan perjalanan yang sesuai dengan uang yang mereka keluarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H