Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Man (XY) and A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Kenangan di Bawah Langit Biru

15 Agustus 2024   15:52 Diperbarui: 15 Agustus 2024   15:53 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa kamu selalu mengambil gambar dari sisi kiri?" tanya Mika dengan sedikit cemberut, matanya menatap Haqi yang sedang sibuk memotret. 

Di atas kepala mereka, langit terbentang luas, biru cerah dengan beberapa awan putih yang bergerak perlahan. Di kejauhan, deretan gedung-gedung kota terlihat seperti latar belakang sebuah lukisan.

Haqi tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat kameranya sedikit lebih tinggi, mencoba menangkap sudut yang menurutnya paling pas. Mika berdiri di antara hamparan bunga liar yang beraneka warna. Beberapa helai rambut hitamnya tergerai tertiup angin, menciptakan efek dramatis yang selalu ingin ditangkap Haqi.

"Kenapa Haqi?" desak Mika lagi.

Suaranya sekarang lebih pelan, hampir terdengar seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk mereka berdua.

Haqi menurunkan kameranya, matanya bertemu dengan mata Mika. 

"Karena dari sisi kiri, kamu terlihat paling cantik," jawabnya sederhana, namun dengan ketulusan yang membuat Mika sejenak terdiam.

Ada sesuatu tentang cara Haqi memandang dunia yang selalu membuat Mika terpesona. Bagi Haqi, setiap momen adalah kesempatan untuk diabadikan. Setiap sudut pandang memiliki keindahannya sendiri.

Namun ada sesuatu yang lebih dalam tentang alasan mengapa Haqi selalu memotret Mika dari sisi kiri. Bukan hanya soal teknik fotografi, tapi lebih kepada bagaimana Haqi melihat Mika, dan bagaimana ia ingin dunia melihat Mika melalui lensanya.

"Apa kamu tidak pernah bosan memotretku?" Mika menggoda. 

Kali ini senyumnya mulai mengembang, menggantikan cemberut kecil tadi.

Haqi tertawa pelan, suaranya rendah dan hangat. "Mika, setiap kali aku memotretmu, aku selalu menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Bagaimana mungkin aku bisa bosan?"

Mika menundukkan kepala, sedikit malu dengan pujian yang begitu jujur dan tulus itu. Padahal, sudah bertahun-tahun mereka bersama, namun Haqi selalu menemukan cara untuk membuatnya merasa istimewa.

Di sekeliling mereka, bunga-bunga liar bergoyang pelan mengikuti irama angin. Kota yang sibuk dan penuh hiruk-pikuk terasa jauh dari tempat mereka berdiri, seolah-olah mereka berada di dunia yang berbeda. Hanya ada mereka berdua, di tengah padang yang hijau, dengan langit biru di atas mereka.

"Kadang aku merasa kita seperti di dunia lain," Mika akhirnya berkata. Suaranya lirih, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

"Mungkin kita memang sedang berada di dunia kita sendiri," Haqi mengangguk sambil tersenyum.

"Di tempat ini, hanya ada kita, waktu berjalan lebih lambat, dan semuanya terasa lebih nyata."

Mika menatap Haqi, kali ini dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Ada kedamaian dalam momen ini, seolah-olah waktu memang benar-benar berhenti hanya untuk mereka berdua. Ia merasa aman, terlindungi, dan dicintai dalam cara yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Aku berharap kita bisa selalu seperti ini," Mika berkata pelan, nadanya penuh harap.

Haqi mendekatkan wajahnya, menatap Mika dengan tatapan yang lembut namun intens.

"Selama kita bersama, dunia kita ini akan selalu ada, Mika. Kita yang menciptakan momen-momen ini, dan kita yang menentukan bagaimana kita ingin mengingatnya."

Mika mengangguk pelan, matanya mulai terasa hangat. Ia tahu bahwa selama mereka bersama, setiap momen akan menjadi kenangan yang indah. Setiap gambar yang diambil Haqi akan menjadi bagian dari cerita mereka.

Dan di sanalah mereka, berdiri di tengah padang bunga liar dengan kota yang jauh di belakang mereka, membiarkan angin membawa pergi kekhawatiran, menikmati keindahan sederhana yang hanya mereka berdua yang bisa merasakannya. Dunia mereka mungkin hanya kecil, tetapi di dalamnya segala sesuatu terasa sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun