Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Arisan, Utang Bergilir Berkedok Menabung

4 Juni 2024   10:10 Diperbarui: 4 Juni 2024   10:25 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image generated by Ideogram

Mendengar kata arisan, apa yang terbayang di pikiranmu? Kumpul-kumpul, makanan enak, dan tentunya uang tunai yang menggiurkan? Betul sih. Tapi jujur saja, dari dulu saya tidak pernah berminat ikut yang namanya arisan dan tidak berencana untuk ikut ke depannya.

Alasan ogah ikut arisan

Coba perhatikan baik-baik konsep dasar menabung. Menabung adalah menyisihkan sedikit uang untuk disimpan agar bisa dipakai di masa depan, kapan saja sesuka kita tanpa meninggalkan utang.

Sementara arisan, memang sih ketika dapat arisan terasa seperti menuai hasil dari uang yang selama ini kita tabung. Tapi harus ingat, di situ ada uang milik orang lain yang harus dikembalikan, alias utang.

Jadi ibaratnya grafik yang naik, setelah mencapai puncak harus turun lagi kembali ke awal. Uang yang kamu pegang ya sebenarnya segitu-segitu saja, nilainya sejak awal sama hanya diputar dulu ke orang lain.

Kalau saya pribadi lebih memilih cara menabung yang tradisional. Setiap bulan menyisihkan sebagian pendapatan dan ditabung. Tidak perlu ribet setor sana-sini, dan uangnya bisa diambil kapan pun saat dibutuhkan.

Di kalangan warga atau keluarga, terdapat tekanan sosial yang kuat untuk berpartisipasi dalam arisan. Hal ini sering kali disebabkan oleh fakta bahwa arisan dipandang sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial dan salah satu bentuk silaturahmi.

Padahal silaturahmi bisa dilakukan dengan berbagai cara, asalkan ada niat. Tak perlu harus menyelenggarakan arisan. Silaturahmi bisa dilakukan dengan cara jalan-jalan bersama, makan bersama, atau sekadar kumpul di tempat tongkrongan.

Peserta arisan yang tidak punya niatan untuk silaturahmi, biasanya orang itu hanya mentransfer iuran arisannya saja tanpa mau hadir saat arisan dengan beragam alasan.

  • Kalau menang malah risih

Yang ikut arisan pasti semuanya pernah mengalami kejadian ini. Setelah arisan dikocok dan menang, usai acaranya selesai pasti nanti ada yang mendekat. "Eh, duitnya saya pinjam dulu boleh nggak? Saya ada keperluan mendesak nih". Padahal kamu sendiri sudah menunggu-nunggu uang arisan itu karena semua orang pasti butuh uang.

  • Jadi arena pamer kekayaan

Mau itu arisan level RT hingga level sosialita, arisan juga kerap menjadi ajang pamer kekayaan. Anggota arisan yang kaya biasanya akan menggunakan barang-barang mewah, sering berbicara tentang kekayaannya, hingga memamerkan gaya hidup mewahnya. Nah yang merasa tersaingi, di arisan berikutnya akan berusaha untuk menandinginya.

Sifat kompetitif dari arisan dapat menimbulkan perasaan iri, dendam, dan bahkan rasa malu. Hal ini terjadi jika ada perbedaan finansial yang signifikan di antara para peserta. Mereka yang keuangannya kurang mungkin merasa tertekan untuk bisa mengikuti "gaya" para peserta lainnya yang lebih kaya.

To Arisan or Not to Arisan

Saya paham betul bahwa arisan merupakan tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Saya menghormati tradisi tersebut. Tapi untuk urusan keuangan, saya lebih memilih untuk berpegang pada prinsip saya sendiri. Menabung dengan cara yang aman dan sesuai kebutuhan terasa lebih tenang dan terjamin.

Jadi balik lagi ke preferensi masing-masing. Kalau kamu merasa cocok dengan sistem arisan dan nggak keberatan dengan segala "drama" yang mungkin terjadi, ya silakan saja.

Tapi kalau kamu seperti saya yang lebih suka nabung sendiri dan nggak mau ribet, ya nggak ada salahnya juga. Yang penting kita punya cara sendiri untuk mengatur keuangan dan mencapai keberhasilan finansial yang kita inginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun