Dalam sebuah interview yang pernah saya saksikan di YouTube, komedian Tretan Muslim mengatakan tayangan YouTube saat ini sudah seperti tayangan di TV. Coba saja buka YouTube dan lihat yang menjadi trending saat ini di Indonesia. Paling tidak jauh dari keluarga Ruben Onsu atau Raffi Ahmad, Indonesian Idol, dan K-pop yang notabene adalah tayangan-tayangan yang identik dengan tayangan TV.
Fenomena ini mungkin kalian juga sadari yakni YouTube lambat laun menjadi TV, dan TV menjadi YouTube. Ini adalah fenomena yang menarik dan lucu. Apa maksud saya dengan itu?
Maksud saya adalah bahwa YouTube sekarang semakin banyak menayangkan konten-konten yang biasanya kita lihat di TV, seperti acara berita, talk show, sinetron, film, dan lain-lain.Â
Sementara itu, TV sekarang semakin banyak meniru gaya YouTube, seperti menggunakan influencer, vlogger, prankster, dan lain-lain sebagai bintang tamu atau pembawa acara.
YouTube Jadi TV
Kenapa hal ini terjadi? Menurut saya ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, YouTube ingin menjangkau audiens yang lebih luas dan lebih beragam. Dengan menayangkan konten-konten yang biasa ditonton di TV, YouTube berharap bisa menarik perhatian orang-orang yang mungkin kurang tertarik dengan konten-konten yang lebih niche atau personal.
Kedua, YouTube ingin meningkatkan pendapatannya dari iklan. Dengan menayangkan konten-konten yang lebih profesional dan berkualitas, YouTube bisa menarik pengiklan-pengiklan besar yang mau membayar lebih mahal untuk beriklan di platformnya.
Ketiga, YouTube ingin bersaing dengan platform-platform streaming lainnya, seperti Netflix, Disney+, dan lain-lain. Dengan menayangkan konten-konten yang lebih original dan eksklusif, YouTube bisa membedakan dirinya dari platform-platform lainnya dan menawarkan sesuatu yang unik dan menarik.
TV Jadi YouTube
Sementara itu, TV ingin mengadaptasi diri dengan perkembangan zaman dan selera penonton. Dengan meniru gaya YouTube, TV berharap bisa menarik perhatian generasi muda yang lebih suka menonton konten-konten yang lebih interaktif, kreatif, dan autentik.
Selain itu, TV juga ingin menghemat biaya produksi. Dengan menggunakan influencer, vlogger, prankster, dan lain-lain sebagai bintang tamu atau pembawa acara, TV bisa mengurangi biaya untuk membayar artis-artis profesional atau membuat skenario-skenario rumit.
Belum lagi beragam acara yang isinya menayangkan video-video pendek dan viral yang dibuat oleh pengguna YouTube, TikTok, dan sejenisnya dan diberi tambahan narasi. Sebut saja On The Spot, Kok Bisa Viral, SpotLite, TopSpot, dan masih banyak lagi lainnya. Reporternya nggak usah capek-capek cari dan kejar berita. Cukup buka browser dan download kontennya.
Tergantung selera
Apakah hal ini baik atau buruk? Menurut saya tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan ini. Semua tergantung pada selera dan preferensi masing-masing penonton. Ada yang suka dengan konten-konten yang lebih profesional dan berkualitas di YouTube, ada juga yang suka dengan konten-konten yang lebih personal dan spontan di TV. Yang penting adalah kita bisa menikmati apa yang kita tonton dan mendapatkan manfaat atau hiburan dari situ.
Ujung-ujungnya penonton yang menang
Jadi, apakah YouTube dan TV akan bertukar peran sepenuhnya? Atau apakah mereka akan berkolaborasi untuk menciptakan pengalaman menonton yang lebih baik? Mereka saling bertukar peran dan fungsi. Mereka saling mengejar dan meniru. Mereka saling bersaing dan berkolaborasi.
Siapa yang akan menang dalam persaingan ini? Siapa yang akan mendominasi pasar media? Siapa yang akan menghibur kita? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang pasti, kita tidak akan pernah kehabisan hiburan di era digital ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H