Di awal, Ade Armando melempar beberapa fakta bahwa Industri film dunia sedang mengalami kejayaan tertingginya dalam sejarah. Pada 2019, angka penjualan tiket global mencapai rekor tertinggi 42,9 miliar dolar AS alias sekitar Rp 595 triliun. Angka ini setara dengan seperempat keseluruhan APBN kita. Angka tadi baru merujuk pada pembelian tiket bioskop dan belum dihitung pemasukan untuk industri film dari berbagai outlet lain, seperti hak tayang di televisi teresterial, televisi berbayar, jasa video online dan DVD.
Ade akhirnya kemudian juga melempar pertanyaan yang selama ini menggantung di setiap pelaku film, pemerhati film, dan penikmat film tanah air; diantaranya Berapa persen dari kaum muda kota yang menonton film Indonesia dan asing di bioskop? Apa alasan mereka tidak menonton? Seberapa sering mereka menonton? Apakah ada perbedaan antara generasi milenial dan generasi Z? Apa genre film yang disukai? Apakah ada perbedaan antara daerah? Belum lagi, ketika berbicara soal ketersediaan SDM, apakah sudah cukup filmmaker kita ? sudah tersediakah sekolah-sekolah, serta kampus dengan jurusan perfilman ? Bagaimana regenerasi kedepan ?
Dan berdasar pertanyaan-pertanyaan itulah, ia dan tim, menitipkan pertanyaan-pertanyaan tambahan pada Beberapa Riset yang akan berjalan agar nantinya bisa ditarik kesimpulan empiris, untuk dijadikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada selama ini. Riset sendiri dibagi dalam 2 Riset berbeda dengan objek riset yang berbeda pula, yang diharapkan hasilnya akan mendekati kepada hasil yang real di lapapngan.
====
Studi September 2019 di 103 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan 9,3% masyarakat Indonesia berusia 17 tahun ke atas menonton film nasional di bioskop; sementara hanya 8,2% menonton film asing di bioskop. Sedangkan Studi pada Desember 2019 memberikan gambaran lebih jelas tentang pola menonton di kalangan muda. Studi dengan responden anak muda berusia 15-39 tahun di 16 kota besar di itu menunjukkan bahwa 67% menonton film nasional, sementara hanya 55% yang menonton film asing.
Namun, hasil ini bukan berarti bahwa film domestik sudah mengalahkan Hollywood di pasar Indonesia. Data yang saya peroleh menunjukkan bahwa film Indonesia 'baru' mencapai 35% pangsa pasar nasional. 65% masih diisi oleh film asing, terutama Hollywood.
Pada slide-slide berikutnya, tren menonton film lokal makin memberi "angin segar". Ada slide yang menunjukkan bahwa orang tidak menonton film Indonesia bukan karena kualitasnya buruk, tidak layak tonton, atau hal lain yang berhubungan dengan kontaen. Namun, hal-hal teknis seperti jauhnya bioskop dari jangkauan, mahalnya harga tiket, dll.
Jadi, hasil ini, mampu menepis bayangan yang ada, bahwa film lokal tidak laku karena punya kualitas yang buruk. Sedangkan untuk masalah teknis tadi, kita sama-sama tahu kalau saat ini, begbagai jaringan bioskop asing seperti CGV, CINEMAX, dll mulai masuk pasar nasional dan membauka ruang theaeter diberbagai kota demi meraih penonton yang sebelumnya hanya menikmati film malalui saluran TV Terestrial, internet, maupun keping-keping cakram bajakan.
Akibat pertumbuhan bioskop ini pula-lah, akhirnya mampu merontokkan peredaran film bajakan, serta web penyedia film tanpa ijin. Bayangkan saja, pasar penonton tanah air kita, dimana dari 264juta jiwa, 150juta orang (bisa dihitung berulang karena menonton berulang ke bioskop), adalah pasar bagi para pebisnis kursi film di bioskop.
Film nasional juga sempat dikuatirkan mengalami kebangkrutan sekitar 5-9 tahun yang lalu. Pada 2011, tidak ada satupun film nasional yang penjualan tiketnya lebih dari 1 juta; pada 2015, hanya ada tiga film yang masuk kategori itu. Tapi kemudian setelah itu, secara mengejutkan pergerakan film nasional mengalami percepatan, sehingga pada 2019 ada 15 film yang tayang di bioskop, penjualan tiketnya lebih dari satu juta. Mengagumkan !!
Jadi, walau sumbangannya terbulang masih minim bagi sektor ekonomi secara keseluruhan, namun di banyak negara; industri film selalu dipandang sebagai sektor strategis dalam sebuah negara. Mengapa ? karena siklus hidup film relatif panjang. Ihat saja, Film Charlie Chaplin yang diproduksi hampir seabad lalu, saat ini masih bisa dijual dalam beragam format. Atau film Benyamin, yang terus tayang di TV Nasional, dan terus diperbaiki kualitasnya secara digital agar gambarnya terlihat lebih jernih dan bagus warnanya ini kemudian memancing berbagai industri pakaian distro untuk menjadikan Benyamin berdasar film tadi menjadi berbentuk kaos, tas, buku, dll.
Biaya pembangunan industri film relatif kecil, tidak membutuhkan modal raksasa. Sektor ekonomi kreatif digambarkan sebagai sektor padat ide, bukan padat modal. Namun yang juga dianggap penting adalah film disebut sebagai intagible product yang mempengaruhi nilai, cara berpikir, gaya hidup, pemikiran khalayak. Film adalah sebuah industri kebudayaan: industri yang memproduksi budaya.