Mohon tunggu...
Rully Mufarika
Rully Mufarika Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Jogjakarta

Pengais Aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meningkatkan Rasa Kepemilikan Wisatawan Lokal terhadap Cagar Budaya Palembang melalui Semangat Cenggat Agung

4 Mei 2019   12:41 Diperbarui: 4 Mei 2019   12:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasib sisa-sisa kejayaan Sriwijaya di Palembang masih perlu mendapat perhatian serius. Faktanya, situs wisata sejarah peninggalan kerajaan tertua di Indonesia tersebut kurang menjadi objek pemeliharaan[1]. Kurang terurusnya situs yang meliputi prasasti, candi, dan bangunan bersejarah berikut dengan peninggalan kolonialisme Belanda di Palembang dapat ditemukan dalam banyak sisi. Tidak hanya faktor dari para pemangku kebijakan, masyarakat juga turut memiliki andil atas berlarut-larutnya permasalahan ini.

 Kondisi memprihatinkan situs wisata sejarah lokal cukup relevan dengan animo wisatawan di Palembang. Data memang menyebutkan ada peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yakni 1.041 wisman per November 2017[2]. Namun, peningkatan jumlah wisman tersebut tidak diikuti dengan peningkatan jumlah wisatawan lokal yang terhitung belum cukup banyak. Maka dari itu, untuk mencapai program kunjungan pada angka 200.000 wisatawan pada tahun 2018 diperlukan rencana yang strategis dengan agenda utama menyasar pada kepedulian wisatawan lokal, khususnya masyarakat Palembang, untuk melestarikan warisan sejarah lokal.

 Kepedulian terhadap kelestarian cagar budaya dapat diwujudkan dengan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging). Sikap tersebut ditujukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap budaya milik bangsa sendiri. Banyak warisan sejarah lokal yang hingga kini masih diketahui di masyarakat dan banyak pula budaya yang masih dipraktikkan khususnya oleh orang-orang berusia senja. Namun, kecenderungan negatif diperlihatkan oleh anak-anak muda yang tidak lagi tertarik oleh meskipun sudah luntur di kalangan anak muda. Perlu upaya dari berbagai pihak untuk revitalisasi warisan sejarah lokal supaya tidak hilang ditelan zaman, salah satunya dengan mempraktikkan semangat ala Cenggat Agung.

 Refleksi Lunturnya Semangat Cenggat Agung

 Cenggat Agung merupakan salah satu dari sekian banyak warisan sejarah Sumatera Selatan. Cenggat Agung merupakan kesenian lagu dan tarian daerah yang berisi pesan-pesan untuk melestarikan warisan leluhur yang dahulunya cukup terkenal di Sumatera Selatan dan sekitarnya. Berkaca pada pesan-pesan yang ada pada budaya Cenggat Agung, masyarakat Palembang sudah semestinya sadar bahwa banyak di antara mereka yang telah melupakannya.

Indikasi pengabaian masyarakat lokal terhadap warisan sejarah yang ada ditandai dengan kurang optimalnya usaha memenuhi kebutuhan tumbuh dan berkembang[3]. Pemerintah Palembang selaku pemangku kebijakan belum sepenuhnya berdedikasi dalam pembenahan dan pembangunan cagar budaya. Sebanyak 365 cagar budaya warisan Kerajaan Sriwijaya belum didata oleh pemerintah setempat[4].

Beberapa peninggalan sejarah kolonialisme juga belum mendapatkan porsi perhatian dan pemeliharaan yang memadai, contohnya terkait keberadaan museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II. Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang merupakan satu-satunya museum milik pemerintah Palembang menjadi saksi atas kurangnya atensi, baik dari pemerintah maupun masyarakat Palembang, terhadap cagar budaya.

Kondisi di tempat ini terbilang cukup memprihatinkan. Kayu dan sampah terlihat berserakan, beberapa ruangan mengalami kerusakan, ubin kayu lantai dua terasa lapuk dan goyah, atap bangunan berlubang, serta guci antik peninggalan kolonialisme Belanda digunakan sebagai tempat sampah[5]. Maka dari itu, tidak heran jika UNESCO menetapkan Palembang dalam daftar List of World Heritage in Danger[6]. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa semangat mulia yang terkandung dalam Cenggat Agung telah luntur oleh perilaku dan pola pikir masyarakat lokal sendiri.

Revitalisasi Tradisi Melalui Semangat  Cenggat Agung

Budaya Cenggat Agung telah menjadi warisan yang mendarah daging di masyarakat Sumatera Selatan. Jika disikapi secara serius, budaya tersebut dapat menjadi senjata ampuh untuk mempertahankan warisan budaya lokal. Upaya revitalisasi cagar budaya lokal dapat dilakukan dengan memahami dan mengkontekskan pesan-pesan yang termaktub dalam Cenggat Agung, baik pada level masyarakat maupun pemerintah.

Langkah pertama usaha revitalisasi budaya dengan melihat semangat ala Cenggat Agung dimulai dari optimalisasi peran pemerintah daerah dalam bidang wisata (khususnya wisata situs sejarah). Pemerintah sebagai otoritas pemegang kebijakan memiliki peran strategis dalam proses akuisisi, konservasi, dan promosi warisan sejarah dalam bentuk langkah yang lebih konkret. Bentuk nyata tindakan tersebut melalui mekanisme pengesahan kebijakan pemeliharaan situs cagar budaya, pengawasan, dan evaluasi secara berkala yang bertujuan untuk mengawal tercapainya target yang disasar.

Langkah kedua, semangat ala Cenggat Agung perlu disebarkan people to people dan dimulai pada lingkungan keluarga sebagai lingkungan sosial terkecil. Eksistensi masyarakat, baik orang tua maupun anak-anak, cukup vital dalam proses pembenahan pariwisata budaya lokal. Peran vital tersebut dibagi menjadi tiga ranah. Pertama, sebagai partisipan terciptanya kepedulian terhadap budaya Palembang. Kedua, sebagai kontributor penjagaan eksistensi budaya. Ketiga, sebagai kelompok yang melestarikan budaya sendiri.

 Baik pemerintah maupun masyarakat memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga cagar budaya daerah Palembang. Sinkronisasi aksi keduanya menjadi penting. Integrasi kedua elemen tersebut dapat ditekan melalui peningkatan mekanisme edukasi, komunikasi dan sharing informasi antarpihak. Dengan melihat Palembang sebagai kota pusaka, banyak peninggalan sejarah Sriwijaya dan kolonialisme Belanda yang perlu diposisikan sedemikian rupa oleh semua pihak. Penjagaan dan pemeliharaan terhadap cagar budaya Palembang memerlukan upaya yang optimal, terlebih dalam aspek rasa kepemilikan. Melalui revitalisasi tradisi dengan menjunjung nilai Cenggat Agung, kedua belah pihak dapat bersama-sama melakukan penjagaan, pemeliharaan, sekaligus promosi terhadap cagar budaya di Palembang secara optimal.

   

[1] 'Museum Tekstil Palembang Butuh Perawatan,' Republika (daring), 2018, , diakses pada 27 Agustus 2018

[2] 'Kunjungan Wisman ke Palembang naik 41,44 persen,' Jawa Pos (daring), 2018, , diakses pada 28 Agustus 2018

[3] Massachutes Government, Behavioral Indicators of Abuse and Neglect, Commonwealth of Massachussets, Massachussets, 2018.

[4] '316 Cagar Budaya Perlu Perhatian', Pelita Sumsel (daring), 2018, , diakses pada 27 Agustus 2018.

[5] 'Suramnya Nasib Museum Peninggalan Sejarah Palembang,' Liputan6 (daring), 2018, , diakses pada 27 Agustus 2018

[6] 'List of World Heritage in Danger,' UNESCO (daring), 2018, , diakses pada 27 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun