Mohon tunggu...
Muhammad Amrullah
Muhammad Amrullah Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda Lamongan

Manusia biasa yang Lahir di Bumi dan Mencoba hidup yang tidak hanya Mengukur Jarak namun juga Mengukir Jejak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Puspita Merah 1

10 Februari 2019   12:03 Diperbarui: 12 Februari 2019   19:10 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu bernama cerah. Lengking sinar terang menerangi alam raya. Di salah satu belahan bumi didapatilah gadis muda, dengan binar mata memukau, senyum semburat bertajuk pelita, badan kecil pendek menjadikan ia gadis kecil yang lucu. Gadis itu periang sangat. Seakan kesejukan alam raya bergantung pada suasana hatinya.

Ia tinggal di dataran tinggi dengan berselimut suhu yang sejuk, sesejuk tatapannya. Tingkahnya yang kian polos dan lugu menjadikan ia sebagai kesukaan banyak orang. Sikap yang ramah tamah, lebar senyum itu sudah melekat sejak ia lahir ke dunia. Gadis itu bernama anggun.

Di setiap harinya anggun adalah gadis yang selalu membantu orang tuanya bekerja di kebun teh orang tuanya. Gadis remaja yang usianya berkisaran 17 tahunan itu sangat lihai dalam berkebun. Tabu memang. Seukuran gadis yang cantik jelita bak dewi kayangan itu bekerja di kebun dengan penuh senyuman. Tanpa kenal kata enggan dalam tiap langkahnya, hanya dan hanya senyuman yang selalu meriasi perkebunan.

Pada suatu kala, usaha perkebunan milik orangtuanya itu harus tiba pada titik rendah dimana usaha itu mengalami keterpurukan. Tiada longsor tiada topan tapi ini merupakan bencana yang sangat merugikan. 

Usaha perkebunan orangtua anggun tergolong perusahaan perkebunan swasta yang tergolong kecil. Perkebunan rakyat seperti milik orangtua anggun tersebut secara umum masih belum memiliki kekuatan besar dalam menghadapi persaingan pasar terutama terkait daya saing produk. 

Selama ini perusahaan-perusahaan besar swasta ataupun milik negara yang lebih dominan menguasai pasar dan mendapatkan keuntungan besar untuk bisnis berbasis perkebunan. Tentu saja ketidakberdayaan mereka menjadikan peluang bagi beberapa pihak yang mempunyai niat licik dan picik.

Tok.. Tok.. Tok.., suara ketukan tangan membentur pintu rumah dari luar. Bergegaslah anggun dengan tangkasnya membukakan pintu rumah kayunya itu. Terdapat orang yang berpakaian rapi tak dikenalnya membawa koper layaknya orang kaya.

"Bapak yadi ada ?" orang berbaju rapi itu bertanya dengan mata menggerayangi rumah kayu milik keluarga yadi.

"Bapak? Iya ada. Ada perlu apa tuan datang kesini, kalau saya boleh tau?"

"Saya di sini ingin bertemu dengan bapak yadi" jawabnya tegas dengan mata yang tak mau menatap ke anggun.

"Bapak sedang istirahat di kamar. Beliau sedang tidak enak badan" jawab anggun dengan nada judes.

"Baiklah kalau begitu" orang itu menjawab dengan nada kesal, dan tanpa sopan santun ia pergi begitu saja menjauhi rumah kayu itu.

Dengan kedatangan orang misterius tak dikenal itu membuat anggun bertanya-tanya dalam hati. Siapakah dia? Ada perlu apa dengan bapak? Tampangnya yang kian congkak dan angkuh menjadikan hati anggun geram.

Dalam tempat yang sama, dalam satu atap terbaring pak yadi itu. Dengan usia yang kian menua, tenaga yang kian terkuras tiap harinya, dan penyakit yang kian berdatangan dari setiap penjuru menjadikan pak yadi semakin hari semakin lemah dan rapuh. 

Pria berusia 50 tahun keatas itu sudah terbaring diatas ranjang tiga hari lamanya. Istrinya bu maysaroh dan anaknya semata wayang itu yang selalu merawat pak yadi dengan hati yang tulus. Terkadang hanya ibu dan anak yang mengurusi perihal perkebunan. Mereka berdua tergolong srikandi tangguh yang menolak lemah karena kondisi.

Kondisi perkebunan seperti halnya konidisi pak yadi. Sedang melemah dan pada titik keterpurukan. Kondisi pak yadi yang tiap hari kian tak ada tenaga menjadikan keluarga tersebut dirundung susah. 

Keekonomian merekapun ikut terpuruk dengan kondisi perkebunan yang semakin hari kalah dengan perkebunan yang besar. Mereka tak sanggup membawa pak yadi ke dokter ataupun rumah sakit. Lantaran mahalnya uang yang harus dibayar dan lantaran kondisi geografis mereka yang bisa dibilang terpencil.

Keesokan harinya orang aneh itu datang kembali dengan raut muka yang sama dengan setalan baju berbeda. Pada waktu itu matahari sedang membiaskan senja.

"Pak Yadi ada?" tanyanya dengan wajah tanpa senyuman itu.

"Ada" jawab anggun.

Pak Yadi pun keluar dari kamarnya berjalan tergopoh-gopoh dengan dayanya yang semakin hari semakin lemah. Pak yadi pun memersilahkan tamu itu masuk dan duduk di ruang tamu rumah itu.

"Nak, tolong buatin minum untuk tamu kita"

"Iya bapak"

Dengan hati geram anggun melangkah ke dapur. Masih teringat jelas orang yang tidak menyenangkan sikapnya itu kemarin datang kerumah dengan tiada sopan dimiiliki. Kalau bukan perintah bapaknya, mungkin anggun enggan membuatkan minum apalagi menerimanya sebagai tamu di rumahnya.

"ini tuan, silahkan" dengan menyodorkan minuman ke orang yang tak dikenalnya tersebut.

Anggun pun bergegas masuk kedalam dengan niatan tidak mencampuri urusan orangtuanya dengan orang tak dikenalnya tersebut. Anggun duduk tak jauh dari ruang tamu. Sepertinya ia dibuat penasaran apa yang dibaha oleh orang yang tak dikenalnya itu dengan bapaknya.

Setelah didengarkan dengan baik. Ternyata mereka membicarakan perihal tanah perkebunan. Orang yang tak dikenal itu mempunyai proyek besar membuat pabrik diatas tanah perkebunan milik bapaknya dan tanah yang lainnya milik orang lain. Dalam hati anggun tertegun. Disaaat perkebunan sedang terpuruknya, disaat kondisi kekonomian keluarga sedang lemahnya, disat kondisi bapak tak lagi sehat. 

Datang orang tak dikenal menawarkan penawaran akan membeli tanah perkebunan dengan harga yang lumayan untuk dijadikan lahan pabrik. Apakah ini semua sudah terencana? 

Apakah ini semua adalah siasat orang-orang yang mempunyai kepentingan individu? Sungguh licik akal mereka, datang disaat kami susah. Membawa angin segar namun aku yakin tak akan lama. Membawa kotak bahagia, namun aku yakin setelah itu bakal sengsara. Geram sudah hati ini. Ibu tak tau menau perihal ini. Ia sedang melakukan pekerjaannya di kebun, sedangkan bapak sedang berjuang melawan keadaan yang harus menuntunnya untuk mempertahankan atau melepaskan.

......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun