Mohon tunggu...
Rulie Maulana
Rulie Maulana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

@ruliemaulana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Brexit & Trump, Perlawanan Mayoritas yang Terpinggirkan

14 November 2016   19:51 Diperbarui: 16 November 2016   15:20 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Licensed free image. Edit and caption by the author.

Dalam tahun 2016 muncul dua hasil voting yang menggegerkan dan banyak disimpulkan sebagai wujud anti-establishment yaitu keputusan Kerajaan Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa dan kemenangan Trump dalam pilpres Amerika.

Tidak ada satupun polling yang akurat, bahkan pollster IBD/TIPP yang dalam tiga pilpres selalu benar dan juga memperkirakan Trump akan menang juga tidak terlalu tepat karena nyatanya Clinton yang memenangi suara popular meski kalah dalam electoral vote. Semua polling dianggap tidak sanggup mengungkap realita persepsi masyarakat dan akhirnya jadi salah satu alasan mengapa tim kampanye Clinton lengah untuk memperkuat posisi di lokasi-lokasi dan demografi strategis.

Bocornya email Clinton dan keputusan Comey untuk membuka ulang kasus ini pada saat-saat mendekati waktu pencoblosan dianggap sebagai kambing kekalahan pemilu yang paling hitam. Mainstream liberal media ‘terpercaya’ seperti CNN dan Washington Post hingga level editornya pun menutup mata dengan hal-hal esensial dan tetap membawa common sense versi mereka bahwa ini pasti ulah Rusia. Tidak pernah ada bahasan tentang bagaimana suatu rootkit yang dibuat oleh para hacker Rusia bisa dimodifikasi hacker negara lain untuk membobol email dan tetap meninggalkan jejak ke-Rusia-annya. Juga berusaha lupa untuk membahas isi dari email-email DNCLeaks; Guccifier 2.0; dan Podesta Files yang sebenarnya bukti nyata kekejian politik.

Begitu gencarnya mainstream liberal media menghujat Trump tanpa ada yang pernah mengulas sisi positif dari Trump agaknya mempengaruhi masyarakat Indonesia juga. Jarang sekali di sini yang menjadi pendukung Trump semata karena ucapannya tentang akan menghadang semua muslim. Keterbatasan referensi dan kebiasaan manut dengan tokoh yang dianggap pandangan politiknya ‘jernih’ menghambat keingintahuan tentang apa yang menjadi agenda politik luar negeri Trump. 

Boleh jadi Trump nantinya akan terbawa arus military complex yang sudah sangat akut di Amrik sana, namun hanya dia bisa melihat bahwa untuk menghabisi ISIS hanya perlu berkoordinasi dengan Turki, Suriah dan Rusia untuk konsentrasi penyerangan langsung tanpa perlu embel-embel Presiden Assad harus terjungkal dulu seperti yang selalu dinyatakan Obama. Tanpa perlu mempersenjatai dulu kelompok Islam ‘moderat’ yang masuk dalam kategori allies Amrik yang seringkali justru senjata-senjata itu jatuh ke tangan musuh mereka. Tanpa perlu sibuk mengganti kepemerintahan negara orang lain dulu.

Trump memang bilang dia akan menambah alat tempur dan menambah jumlah skuadron perang tapi dia juga bilang itu hanya alat negosiasi bukan alat untuk memecah belah negara orang lain. Alat negosiasi untuk kesepakatan yang fair begitu dia bilang. Trump juga sempat menyatakan yang dia inginkan adalah partnership bukan konflik pada saat pidato kemenangannya. 

Ok, memang ujung-ujungnya Amerika akan mendapat kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan mereka sendiri, tapi ini jauh lebih baik daripada politik tipu daya menghancurkan negara lain atas nama ‘demokrasi’ seperti yang selama ini dilakukan Obama-Hillary sesuai arahan sponsor politik belakang layar mereka seperti Soros dan Kissinger.

Sebagaimana Brexit, pilpres Amrik juga dimulai dengan keriuhan yang diarahkan untuk membentuk polarisasi massa dan sangat diwarnai sinisme dari pihak yang tidak menginginkan Brexit dan Trump. Cara-cara pelabelan kepada pihak-pihak pendukung Brexit dan Trump hampir sama. Shaming tactic dari label fasis; intoleran; bigot; deplorable; dan label-label lainnya diarahkan untuk menciutkan dukungan pada Brexit dan Trump. 

Sinisme ini menyebar akibat expose media-media yang berkepentingan untuk mengarahkan pilihan warga. Sebuah model cognitive dissonance yang tanpa disadari mereka saking gencarnya hal ini dilakukan malah menjadi cognitive dissonance bagi pendukung Brexit dan Trump dan berakhir menjadi anti-tesis.

Cara-cara yang sama juga banyak dipakai di Indonesia melalui media-media supporter kekuasaan untuk menyudutkan pihak-pihak yang dianggap berseberangan atau pada jaringan media social pendukung tokoh ‘pembaharu’. Ucapan fascist; bigot; misogynist; racist; dan clown, sudah banyak dipakai. Atau ucapan kebanggaan kelompok mainstream yang anti dengan agama seperti takfiri; onta; dan radikal. Maupun lontaran komentar seperti ‘my *ss’, ‘f*ck *ff’ dari golongan technology savvy yang takut dengan argumentasi.

Framing mainstream media dan sekutunya membentuk opini bahwa pihak yang berseberangan prinsip adalah orang-orang yang anti toleransi. Kemerdekaan untuk berserikat dan menyatakan pendapat bagi kelompok yang dilabeli ‘fasis’ tidak perlu ada. Toleransi dikemas menjadi milik sekelompok orang saja.

Pola social engineering ini sudah merupakan kitab wajib mainstream media yang secara alami memang dikuasai oleh kepentingan pemilik kapital. Pada saat suatu pemberitaan merupakan entity bisnis maka modal akan mengarahkan isi berita. Bila kita pelajari DNCleaks jelas terlihat banyak media besar yang mengirimkan draft berita politik ke partai Demokrat sebelum tayang. Belum lagi sensor media sosial seperti Google, Twitter dan Facebook yang menggunakan kekuasaannya untuk melakukan ‘koreksi’ berita. Akhirnya pemberitaan politik yang berimbang hilang.

Lebih ngeri lagi bila pemilik kapital menjadi sponsor tokoh politik. Kalau kita ambil contoh dari dokumen SorosLeaks terlihat jelas bahwa Soros Foundation terbukti memberi arahan kebijakan politik kepada departemen luar negeri, membentuk organisasi-organisasi ‘kemanusiaan’ yang bertujuan mempengaruhi opini publik dan pemerintah, dan menggiring massa untuk melakukan resistensi melawan pemerintahan yang tidak sejalan dengan agenda globalisasi mereka.

Bila kita pelajari fokus strategi Soros Foundation tiap-tiap selesai pencapaian target akan terlihat bagaimana rapinya mereka mengusung agenda melalui program-program yang tematik. Bagaimana pengajuan proposal pembiayaan tersusun rapi dengan standar output yang jelas. Mungkin ada yang berpikir bahwa terlalu jauh pembahasan ini di Indonesia, tapi sekedar informasi, penyusunan panduan strategis Soros Foundation untuk wilayah Asia-Pasifik yang diikuti oleh core team dilaksanakan di Lido, Sukabumi.

Agenda Globalisasi secara ilmiah sangat dapat diterima seperti kebebasan bergerak untuk individu dan usaha antar negara, terlebih lagi isu globalisasi selalu didampingi isu-isu kesetaraan gender, isu toleransi atas orientasi seksual dan etnis. Meski globalisasi bisa menghilangkan kedaulatan dengan target agar kekuatan modal bisa lebih besar dari sebuah kedaulatan, namun isu ikutan seperti isu kesetaraan sangat jitu untuk menyudutkan pihak-pihak yang bersebrangan prinsip. Isu kesetaraan ini sangat catchy dan dapat membawa ‘toleransi’ versi mainstream media menjadi pilihan yang paling kekinian. Namun saatnya ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa itu bukan pilihan semua orang maka segala polarisasi hanya akan mendatangkan konflik.

Dari sisi geografi, hasil Brexit dan Trump memang terlihat ini pertentangan antara Urban versus Rural & Suburban. Globalisasi yang sangat diterima masyarakat ‘modern’ atas kemudahan melakukan kegiatan ekonomi tanpa batas negara ternyata dianggap masyarakat ‘tradisional’ sangat memukul ekonomi mereka karena modal perusahaan besar pindah ke negara kecil; lapangan usaha dalam negeri menjadi terbatas; dan imigran dianggap mengambil nafkah penduduk asli. Isu Kedaulatan akhirnya berkembang menjadi isu tandingan dan membangkitkan perlawanan di Amerika dan negara-negara Eropa, bahkan beberapa media mulai menyebutkan ini merupakan kebangkitan patriotisme, Patriotic Spring.

Dari sisi demografi, isu ‘toleransi’ yang merupakan ujung tombak isu globalisasi ternyata berbalik menjadi titik lemah. Pada jaman modern dan di negara modern di mana secular hedonism sangat diminati ternyata resitensi untuk menerima etnis lain dan pola pikir liberal masih kuat. Ada hal yang hampir tidak pernah dibahas, yaitu fakta bahwa dalam pilpres Amrik, pergeseran pilihan kelompok agama atas kemenangan Trump sangat menentukan. Setelah terjadi kesepakatan dengan kaum Evangelican dengan Trump bahwa tiga dari sembilan hakim agung akan diisi orang yang konservatif dan menjamin bahwa regulasi penguguran janin akan dihadang, maka elektabilitas Trump dari sampling di lingkungan agama naik drastis.

Cara-cara media liberal dalam menutupi realitas ini sangat berbahaya bila diterapkan di Indonesia. Di Amerika seminggu setelah pencoblosan masih terjadi aksi unjuk rasa anti Trump yang dikendalikan oleh organisasi MoveOn yang didanai Soros. Namun aksi ini toh kebanyakan hanya dilakukan oleh para gadis remaja yang hancur harapan untuk menjadi bagian dari sejarah atas terpilihnya presiden wanita pertama dan para LBGT yang merasa terancam. Sementara bila hal ini terjadi di Indonesia, konflik horizontal berdarah sangat mungkin terjadi.

Sebagaimana media liberal di UK dan US, mainstream media di Indonesia dengan agenda globalisasi dengan selimut kesetaraan sudah terlalu berpengaruh hingga di sini pun mereka dapat terjebak dalam persepsi yang mereka buat dan kembangkan sendiri. Jangan sampai mereka merasa bahwa ini sudah menjadi kesepakatan umum dan lupa bahwa masyarakat yang tidak sepakat dengan isu ini sekarang punya akses informasi alternatif. Karena permintaan maaf media atas pemberitaan yang bias sebagaimana dilakukan New York Times pada saat kenyataan terbukti terbalik dengan apa yang diprovokasikan tidak akan berpengaruh banyak bila konflik sudah terjadi.

Pada saat mayoritas merasa terpinggirkan; merasa tidak ada pemberitaan dan kebijakan yang memihak mereka; merasa outlet ekspesi kebebasan mereka dibredel sedangkan pihak-pihak yang berseberangan pendapat bisa berekspresi seenaknya; merasa selalu dikalahkan dari sisi hukum; merasa bahwa tidak ada ‘toleransi’ bagi pendapat mereka; maka resistensi terbukti justru semakin menguat.

Mudah-mudahan Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara lain. 

Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun