Mohon tunggu...
Rulie Maulana
Rulie Maulana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

@ruliemaulana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Brexit & Trump, Perlawanan Mayoritas yang Terpinggirkan

14 November 2016   19:51 Diperbarui: 16 November 2016   15:20 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Licensed free image. Edit and caption by the author.

Pola social engineering ini sudah merupakan kitab wajib mainstream media yang secara alami memang dikuasai oleh kepentingan pemilik kapital. Pada saat suatu pemberitaan merupakan entity bisnis maka modal akan mengarahkan isi berita. Bila kita pelajari DNCleaks jelas terlihat banyak media besar yang mengirimkan draft berita politik ke partai Demokrat sebelum tayang. Belum lagi sensor media sosial seperti Google, Twitter dan Facebook yang menggunakan kekuasaannya untuk melakukan ‘koreksi’ berita. Akhirnya pemberitaan politik yang berimbang hilang.

Lebih ngeri lagi bila pemilik kapital menjadi sponsor tokoh politik. Kalau kita ambil contoh dari dokumen SorosLeaks terlihat jelas bahwa Soros Foundation terbukti memberi arahan kebijakan politik kepada departemen luar negeri, membentuk organisasi-organisasi ‘kemanusiaan’ yang bertujuan mempengaruhi opini publik dan pemerintah, dan menggiring massa untuk melakukan resistensi melawan pemerintahan yang tidak sejalan dengan agenda globalisasi mereka.

Bila kita pelajari fokus strategi Soros Foundation tiap-tiap selesai pencapaian target akan terlihat bagaimana rapinya mereka mengusung agenda melalui program-program yang tematik. Bagaimana pengajuan proposal pembiayaan tersusun rapi dengan standar output yang jelas. Mungkin ada yang berpikir bahwa terlalu jauh pembahasan ini di Indonesia, tapi sekedar informasi, penyusunan panduan strategis Soros Foundation untuk wilayah Asia-Pasifik yang diikuti oleh core team dilaksanakan di Lido, Sukabumi.

Agenda Globalisasi secara ilmiah sangat dapat diterima seperti kebebasan bergerak untuk individu dan usaha antar negara, terlebih lagi isu globalisasi selalu didampingi isu-isu kesetaraan gender, isu toleransi atas orientasi seksual dan etnis. Meski globalisasi bisa menghilangkan kedaulatan dengan target agar kekuatan modal bisa lebih besar dari sebuah kedaulatan, namun isu ikutan seperti isu kesetaraan sangat jitu untuk menyudutkan pihak-pihak yang bersebrangan prinsip. Isu kesetaraan ini sangat catchy dan dapat membawa ‘toleransi’ versi mainstream media menjadi pilihan yang paling kekinian. Namun saatnya ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa itu bukan pilihan semua orang maka segala polarisasi hanya akan mendatangkan konflik.

Dari sisi geografi, hasil Brexit dan Trump memang terlihat ini pertentangan antara Urban versus Rural & Suburban. Globalisasi yang sangat diterima masyarakat ‘modern’ atas kemudahan melakukan kegiatan ekonomi tanpa batas negara ternyata dianggap masyarakat ‘tradisional’ sangat memukul ekonomi mereka karena modal perusahaan besar pindah ke negara kecil; lapangan usaha dalam negeri menjadi terbatas; dan imigran dianggap mengambil nafkah penduduk asli. Isu Kedaulatan akhirnya berkembang menjadi isu tandingan dan membangkitkan perlawanan di Amerika dan negara-negara Eropa, bahkan beberapa media mulai menyebutkan ini merupakan kebangkitan patriotisme, Patriotic Spring.

Dari sisi demografi, isu ‘toleransi’ yang merupakan ujung tombak isu globalisasi ternyata berbalik menjadi titik lemah. Pada jaman modern dan di negara modern di mana secular hedonism sangat diminati ternyata resitensi untuk menerima etnis lain dan pola pikir liberal masih kuat. Ada hal yang hampir tidak pernah dibahas, yaitu fakta bahwa dalam pilpres Amrik, pergeseran pilihan kelompok agama atas kemenangan Trump sangat menentukan. Setelah terjadi kesepakatan dengan kaum Evangelican dengan Trump bahwa tiga dari sembilan hakim agung akan diisi orang yang konservatif dan menjamin bahwa regulasi penguguran janin akan dihadang, maka elektabilitas Trump dari sampling di lingkungan agama naik drastis.

Cara-cara media liberal dalam menutupi realitas ini sangat berbahaya bila diterapkan di Indonesia. Di Amerika seminggu setelah pencoblosan masih terjadi aksi unjuk rasa anti Trump yang dikendalikan oleh organisasi MoveOn yang didanai Soros. Namun aksi ini toh kebanyakan hanya dilakukan oleh para gadis remaja yang hancur harapan untuk menjadi bagian dari sejarah atas terpilihnya presiden wanita pertama dan para LBGT yang merasa terancam. Sementara bila hal ini terjadi di Indonesia, konflik horizontal berdarah sangat mungkin terjadi.

Sebagaimana media liberal di UK dan US, mainstream media di Indonesia dengan agenda globalisasi dengan selimut kesetaraan sudah terlalu berpengaruh hingga di sini pun mereka dapat terjebak dalam persepsi yang mereka buat dan kembangkan sendiri. Jangan sampai mereka merasa bahwa ini sudah menjadi kesepakatan umum dan lupa bahwa masyarakat yang tidak sepakat dengan isu ini sekarang punya akses informasi alternatif. Karena permintaan maaf media atas pemberitaan yang bias sebagaimana dilakukan New York Times pada saat kenyataan terbukti terbalik dengan apa yang diprovokasikan tidak akan berpengaruh banyak bila konflik sudah terjadi.

Pada saat mayoritas merasa terpinggirkan; merasa tidak ada pemberitaan dan kebijakan yang memihak mereka; merasa outlet ekspesi kebebasan mereka dibredel sedangkan pihak-pihak yang berseberangan pendapat bisa berekspresi seenaknya; merasa selalu dikalahkan dari sisi hukum; merasa bahwa tidak ada ‘toleransi’ bagi pendapat mereka; maka resistensi terbukti justru semakin menguat.

Mudah-mudahan Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara lain. 

Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun