Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Memori

20 Oktober 2016   22:08 Diperbarui: 20 Oktober 2016   22:18 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tawa riang anak-anak menggelora di kampung ini, derap kaki mereka kian berlari ke sana kemari tiada henti. Kadang diselangi juga oleh suara gemercik air dan cipratan oleh tangan mungil mereka. Peluh keringat tanda lelah tak mereka hiraukan. Mereka bersenang hati bahwa tidak ada yang perlu mereka takuti selama mereka masih kecil. Kaki-kaki kecil mereka kuat menerjang aliran air sungai yang jernih seperti kaca, menopang tubuh mereka yang juga ringan, berlandaskan tanah-tanah lumpur nan licin. Hawa yang sejuk melengkapi kesenangan mereka. Di situlah salah satunya aku berdiri, di antara kawanan para anak yang bergembira ria.

Seraya menyipratkan dan mengelap air dari wajahku, aku menjerit senang. Rasanya tidak ingin aku beranjak dari sungai itu dan berjalan kembali ke rumahku. Kurasa dengan seperti ini, aku merasa bebas. Jauh dari rantai para koloni imperalis yang kerjanya mendorong-dorong kami para pribumi, kami yang telah menempati daratan ini lebih lama, tetapi justri diperbudak dan disuruh-suruh dengan tidak layak.

Ayahku merupakan salah satu pekerja mereka yang bertempat di dermaga dan kapal. Dia senantiasa bepergian lewat kapal menemani orang koloni, terpaksa. Bila tidak, mungkin kami semua sudah tidak tahu nasibnya akan bagaimana. Ibuku bekerja di pinggiran pantai, biasanya menenun dan terkadang juga dipaksa oleh para penjajah untuk membantu mengangkut hasil tanam kami yang diambil secara cuma-cuma juga ke kapal mereka. Di saat para koloni itu bertambah kaya, di saat itu juga kami bertambah miskin secara materi maupun mental. Sungguh menyedihkan.

Kami bermain bersama kerbau-kerbau milik para tetua petani. Tujuannya sih, memandikan mereka, tetapi naluri anak-anak membuat kami masih bisa bersenang-senang walau di keadaan yang seperti ini. Keadaan ini kurang lebih adalah sama seperti jika kau berada di ujung tebing, sekali dorongan yang amat lemah sekalipun bisa mengambil nafas hidup kalian. Sungguh tidak aman, memang, tetapi di saat seperti ini tidak ada yang bisa kami lakukan. Belum ada kaum cendekiawan yang muncul di permukaan negri kami ini.

“Tono! Budi! Anton!” teriak para tetua memanggil kami terdengar dari kejauhan. Hari sudah menunjukkan mau senja, menjadikan kami tersadar juga bahwa sudah waktunya kami untuk berhenti bermain-main. Di saat yang sama juga aku mendengar derap langkah kaki para tentara koloni yang membuat jantung kami semua berdegup lebih kencang.

“Ya!” sahut kami semua seraya terburu-buru menarik tali para kerbau. Berpisah dari teman-teman merupakan suatu hal yang tidak mengenakkan, apalagi bila aku juga harus kembali ke rumahku yang gelap tanpa penerangan yang layak, hanya menggunakan sebuah lampu lentera kecil berbahan bakar minyak. Tetapi tentunya jauh lebih baik dari tercegat para tentara di jalan pulang. Aku tidak ingin kerbau-kerbau ini disita karena keserakahan mereka. Tentunya di tangan petani, kerbau-kerbau ini bisa jauh lebih berguna.

“Aku pulang,” ucapku begitu sampai rumah, sebuah formalitas belaka yang dilatih oleh orangtuaku sejak kecil. Tidak ada jawaban dari rumah. Mungkin ibuku sudah tertidur, kelelahan sehabis bekerja seharian. Dia terlihat kurang baik, badannya kurus kering walaupun usianya tidak begitu tua. Meskipun begitu, aku sangat menyayangi ibuku. Walaupun penderitaan yang dia tahan selama ini amat berat, dia masih dapat tersenyum saat berhadapan denganku. Seolah, dia selalu mengatakan “Semuanya akan baik-baik saja” padahal aku tahu, dia hanya berpura-pura kuat. Maksudku, siapa yang kuat menjadi bahan celaan setiap kali para koloni itu lewat?

Makanan kami sehari-hari hanyalah apapun yang ada. Tidak seperti para Belanda yang sehari-hari memakan roti. Kami berbeda jauh. Terkadang kami hanya memakan pasir. Tidak adanya pilihan lain membuat kami terpaksa melakukannya. Rasanya? Sungguh tidak enak. Aku juga tahu bahwa itu tidak sehat, juga tidak layak makan. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan lain.

Hidup di tangan penjajah tidaklah nyaman. Bila kau salah kata sekalipun, bisa-bisa kepalamu sudah tidak menyambung pada tubuhmu, atau lebih parah. Siksaan yang sudah kulihat selama hidupku yang masih kanak-kanak ini sudah banyak. Para penjajah tidak mau tahu apakah kau itu adalah anak-anak ataupun wanita. Yang ada di pikiran mereka hanyalah untuk membunuh orang asli Indonesia yang melanggar kemauan pemimpin mereka. Bukan hanya itu, bila kau tidak disukai mereka, bisa saja kau dibunuh dalam sekejap bagaikan seonggok sampah yang tidak berharga di mata mereka.

Dulu, ayah pernah mengatakan padaku untuk berhati-hati dengan pikiranku juga. Dia bilang, para koloni dapat membaca pikiranku bila tidak hati-hati. Keterlaluan? Memang. Begitulah cerminan ketakutan kami terhadap mereka pada masa itu.

Aku merasa tidak ingin makan. Selain keadaannya gelap, kurasa tidak enak juga bila aku makan tanpa bersama ibuku. Jadi, kuputuskan untuk langsung beranjak ke ranjang untuk beristirahat. Tetapi begitu aku menginjakkan kaki lebih dalam ke kamarku, kudengar ada seseorang berteriak dari luar rumahku, memanggilku. 

“Tono! Kenapa kamu kembali ke dalam rumah itu lagi?!”

Aku menengok, mencari sumber suara. Kudapati itu adalah salah satu tetua petani yang baru kubantu di sawah sebelumnya. Aku tersenyum di antara remang-remang cahaya lampu minyak, berjalan mendekatinya. Berjalan memang agak susah di sekitar sini karena landasan yang tidak begitu kokoh dan beralaskan pasir.

“Eh mbah, ada apa?” Dia menggelengkan kepalanya melihatku, menepuk-nepuk pundakku, menunjukkan raut wajah yang terlihat kasihan terhadapku. Kedua tangannya menggenggam pundakku dengan erat. Matanya menatap tajam ke arahku. Dia beberapa kali menghela nafas, hendak mengatakan sesuatu. Akhirnya dia terdiam, mengucapkan kata-kata penuh kesedihan.

“Tono, kamu tidak ingat? Ayah ibumu sudah meninggal dua tahun yang lalu dibunuh oleh para koloni.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun