Mobil melaju pelan. Diliriknya lagi rumah bercat salem pinggir jalan itu. Mobil menyisi di depannya.
"Kenapa, berhenti di sini, Pah?" Suara itu mengagetkannya.
"Eh, anu ... ini rumah adem kelihatannya... kita istirahat dulu di sini, Mah." Tiba-tiba saja punya ide jawaban.
Pintu depan rumah agak terbuka. Lengang. Tak ada siapa pun di teras. Kecuali seekor kucing yang sedang asyik menjilati kaki-kakinya. Lamat-lamat suara perkutut dari sangkar yang menggantung di atap depan sebelah kiri. Ramdani menarik napas lalu mengeluarkannya pelan.
Tak berselang lama seorang perempuan keluar. Ramdani menahan napas beberapa jenak. Berusaha melawan kegaduhan dalam dadanya.
Perempuan itu tampak sedang mencari sesuatu di halaman rumah. Sesekali perempuan itu membetulkan posisi kerudungnya. Ramdani mengusap keningnya yang berkeringat. Padahal, AC mobil tak dimatikan.
Dia berusaha tersenyum. Anak dan istrinya memperhatikan sekitar rumah yang dipenuhi pepohonan rindang. Rumah bermodel klasik dengan beberapa pilar yang besar. Berpagar tinggi renggang dengan lahan yang cukup luas di sekelilingnya.
"Rumah menak kayaknya ..." salah seorang penumpang kecil ikut berkomentar.
"Sok, tahu...!" Penumpang kecil lainnya menukas.
Ramdani bergeming. Pikirannya secepat kilat menayangkan kejadian belasan tahun lalu. Satu persatu kejadian tergambar laksana acara kaleidoskop di televisi. Sukmanya kembali ke masa lalu.
"Tertarik, Pah, dengan rumah itu? Pah...!"
"Iya, iya ... Mah... nyaman kayaknya," Ramdani gagap; segera menyembunyikan perasaan cemasnya.
Perempuan itu mendekati gerbang. Air mukanya tenang menyiratkan kesejukkan bagai suasana rumah itu.
"Tuh, Pah, yang punya rumah keluar," istrinya menunjuk ke gerbang pagar. Ramdani hanya mengangguk. Dia meneguk air mineral.
"Beli aja, Pah!" Kembali penumpang kecil ikut nimbrung.
"Emang, mau dijual?"
"Sirik aja, Kakak! Siapa tahu...."
Sunyi sebentar.
Perempuan tadi tak terlalu memperhatikan mobil itu. Bukan kali ini saja ada mobil yang sengaja berhenti di depan rumahnya. Tak berselang lama dia masuk kembali.
Ramdani berusaha menormalkan sikapnya. Pelan-pelan dia menginjak pedal gas. Melawan rasanya yang masih tertinggal di sana. Ya, di sana tempat dulu tunangannya tinggal.
Melodi syahdu pelan-pelan berirama dalam hatinya yang merintih. Anak dan istrinya masih ramai membicarakan suasana rumah itu. Ramdani hanya tersenyum. Pertanyaan demi pertanyaan silihberganti menimpali obrolan batinnya.
Siapakah perempuan tadi? Bukan Rahma. Ataukah itu Syahdu? Entahlah.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H