Saat ini, sedang ramai dibicarakan masyarakat banyak mengenai RUU Minuman Beralkohol. Undang-undang yang masih di tahap rencana ini, menuai sejumlah pro dan kontra dari banyak orang. RUU ini akan melarang produksi, pengedaran, penjualan, atau pengonsumsian minuman beralkohol.
DPR memutuskan untuk memasukkan kembali dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 setelah terus mengalami penundaan sejak diusulkan pertama kali pada tahun 2015. DPR, melalui laman resmi mereka, sudah mengeluarkan dokumen rancangan undang-undang minuman beralkohol.
Dilansir pada laman resmi dpr.go.id, menurut RUU ini pada pasal 1 ayat 1, yang dimaksud minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik 2 dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung etanol.
Pada pasal 3 dijelaskan, tujuan adanya larangan minuman beralkohol adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol; menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol; dan menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.
Pada bab II pasal 4 ayat (1), minuman beralkohol yang dilarang adalah minuman beralkohol golongan A (kadar etanol kurang dari 5%), minuman beralkohol golongan B (kadar etanol lebih dari 5% sampai dengan 20%), minuman beralkohol golongan C (kadar etanol lebih dari 20% sampai dengan 55%), minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol racikan atau campuran.
Setiap orang dilarang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan mengonsumsi jenis alkohol yang tertera di pasal 4. Tetapi pada pasal 8, terdapat pengecualian bagi kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Pada bab VIII dijelaskan mengenai ketentuan pidana.
Pada pasal 18, ayat (1), setiap orang yang memproduksi minuman beralkohol akan dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Â
Pada ayat (2) dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, dipidana dengan pidana pokok ditambah 1/3 (satu pertiga).
Pasal 19 menjelaskan bahwa setiap orang yang memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minuman beralkohol akan dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dan pada pasal 20 dijelaskan bahwa setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol sebagaimana akan dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 3 bulan dan paling lama 2 tahun atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Seperti dari sebagian pasal-pasal yang ada di RUU ini yang telah dijabarkan sebelumnya, tentu saja menimbulkan pro dan kontra.
Bagi anggota DPR sendiri dan sebagian masyarakat, RUU ini dapat menciptakan ketertiban di kehidupan masyarakat, memberi tau bahwa minum minuman beralkohol dapat membahayakan kesehatan, dan mengurangi tingkat kriminalitas yang terjadi karena mabuk. Selain itu masyarakat yang setuju dengan RUU ini karena mengonsumsi minuman beralkohol dilarang dalam ajaran agama.
Sejumlah masyarakat juga khawatir, tanpa adanya RUU ini, akan banyak warga yang mudah mendapatkan minuman beralkohol, terutama anak-anak kecil. Tetapi beberapa masyarakat ada yang setuju dengan peraturan ini, tetapi tidak setuju dengan pidana yang didapat karena beberapa masyarakat menilai jika memproduksi, menjual, atau mengonsumsi minuman beralkohol bukan merupakan tindak kriminal.
Di sisi lain, banyak juga masyarakat yang tidak setuju atau kontra dengan RUU ini. Beberapa orang menilai bahwa tidak adanya urgensi untuk mengesahkan RUU ini. Dikarenakan banyak hal yang lebih penting untuk dibahas oleh DPR dibandingkan permasalahan minuman beralkohol seperti misalnya kebijakan-kebijakan yang membantu masyarakat dalam masa pandemi COVID-19 yang sedang dialami Indonesia.
Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (APIDMI) memiliki pendapat yang sama. Mereka juga menambahkan bahwa konsumsi minuman beralkohol di Indonesia belum mencapai angka yang mengkhawatirkan sehingganya perlu dibahas oleh DPR.
Tingkat konsumsi minuman beralkohol di Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,2 persen dari total penduduk Indonesia atau setara satu mililiter per orang. Bahkan di antara negara-negara ASEAN, Indonesia termasuk yang paling rendah. Selain itu, beberapa orang juga berpendapat, seharusnya DPR lebih fokus mengenai masalah minuman oplosan yang kerap kali membuat pengonsumsinya kehilangan nyawa.
Permasalahan minuman oplosan tentu jauh lebih perlu dibahas. Dari sisi ekonomi, beberapa orang, khususnya pengusaha, menilai jika RUU ini benar akan disahkan oleh DPR, tentu saja akan memengaruhi perekonomian. Minuman beralkohol sudah menyumbang cukai yang sangat besar bagi negara setiap tahunnya.
Untuk saat ini, Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa realisasi penerimaan cukai minuman beralkohol sampai dengan akhir September 2020 mencapai Rp 3,61 triliun. Selain itu, sektor pariwisata juga akan terpengaruh, khususnya daerah-daerah yang kerap kali kedatangan wisatawan asing. RUU ini dinilai dapat membuat citra Indonesia yang ramah terhadap wisatawan asing menjadi buruk.
Referensi:
Berbagai sumber berita online
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI