Aku mencintai hijau padang ilalang yang berayun lembut diantara desir angin tiap pagi, menyukai pemandangan birunya pepohonan cemara yang kulihat pada perbukitan itu. Karena aku mencintai kesunyian dalam ramainya gundah gulanaku. Kau pasti mengerti, memulai sesuatu yang benar-benar baru ditempat yang baru adalah hal yang sulit sekali ku taklukan. Aku butuh banyak jeda untuk meringankan hatiku, menganalisa lingkungan baru ini dan tatapan-tatapan tajam yang menghujamiku dengan puluhan persepsi yang tidak kumengerti.
Beberapa kurun waktu awal ini rasanya begitu berat. Sampai rasanya ingin menyerah saja. Ya menyerah begitu saja. Mengakui kekalahan dan kelemahanku, menyangkal rasa yang ingin kubuat baik-baik saja. Tiba-tiba rasanya seperti sendiri.
Semua teori tentang waktu yang akan mengubah segalanya menjadi baik, rasanya sudah kubantah mentah-mentah. Tidak bisa ya tidak bisa. Tidak ada lagi tawar-menawar yang ingin ku kompromikan dengan diriku. Seputus asa itu.
Bolehkah aku kembali?
Pada waktu yang menjelma pertemuan indah saja?
Tanpa ada banyak pertanyaan setelahnya.
Aku lelah sudah.
Hingga segala keindahan yang kucintai itu ingin kutangisi.
Hingga kebahagiaan inipun ingin kutangisi.
Sekejap lupa bahwa kaki masih kokoh berdiri meski dilarak sepi.
Sekejap lupa ada cita-cita luhur dalam diri yang apinya abadi.
Namun ingin kutepis.
Kemudian, seperti janji Tuhan yang selalu memberi keajaiban setelah kepasrahaan. Mari menata kembali hangat pada dekap yang apinya abadi itu. Cita-cita luhur itu masih butuh diperjuangkan. Bukan untuk orang lain, namun untuk diriku sendiri. Aku tiba-tiba menemukan diriku yang linglung dalam sepi.Â
Dengan kekuatan yang entah datangnya dari mana, Tuhan kembali menuntunku pulang dari ketidakberdayaan itu. Tangan ini  lah menghapus sendiri air matanya. Kaki inilah yang kembali kokoh menyokong tubuh yang siap untuk memulai kembali dari awal. Perlahan keindahan  hijau padang ilalang yang berayun lembut diantara desir angin tiap pagi dan pemandangan birunya pepohonan cemara yang kulihat pada perbukitan itu mengembalikan rasa syukurku.Â
Perjalanan ini jelas baru dimulai untuk chapter yang baru lagi.Â
Ciri-cirinya sama,
bersiap untuk setiap sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H