Aku mencintai hijau padang ilalang yang berayun lembut diantara desir angin tiap pagi, menyukai pemandangan birunya pepohonan cemara yang kulihat pada perbukitan itu. Karena aku mencintai kesunyian dalam ramainya gundah gulanaku. Kau pasti mengerti, memulai sesuatu yang benar-benar baru ditempat yang baru adalah hal yang sulit sekali ku taklukan. Aku butuh banyak jeda untuk meringankan hatiku, menganalisa lingkungan baru ini dan tatapan-tatapan tajam yang menghujamiku dengan puluhan persepsi yang tidak kumengerti.
Beberapa kurun waktu awal ini rasanya begitu berat. Sampai rasanya ingin menyerah saja. Ya menyerah begitu saja. Mengakui kekalahan dan kelemahanku, menyangkal rasa yang ingin kubuat baik-baik saja. Tiba-tiba rasanya seperti sendiri.
Semua teori tentang waktu yang akan mengubah segalanya menjadi baik, rasanya sudah kubantah mentah-mentah. Tidak bisa ya tidak bisa. Tidak ada lagi tawar-menawar yang ingin ku kompromikan dengan diriku. Seputus asa itu.
Bolehkah aku kembali?
Pada waktu yang menjelma pertemuan indah saja?
Tanpa ada banyak pertanyaan setelahnya.
Aku lelah sudah.
Hingga segala keindahan yang kucintai itu ingin kutangisi.
Hingga kebahagiaan inipun ingin kutangisi.
Sekejap lupa bahwa kaki masih kokoh berdiri meski dilarak sepi.
Sekejap lupa ada cita-cita luhur dalam diri yang apinya abadi.