Benar saja, besoknya Bu Asri memintaku menemuinya di kantor, merayu untuk ikut lomba cerpen dan ku 'iya' kan dengan cepat. Secepat Bu Asri menghipnotisku dengan senyumnya yang cantik. Tidak susah untuk membuat cerpen tentang 'cerita tak terlupakan'. Aku izin tidak ikut pelajaran matematika dan IPA untuk ndekem---eh, membuat cerpen di perpustakaan pada Bu Sari dan Pak Hari. Sungguh bukan karena males ikut pelajaran lho. Pelajaran beliau tidak membosankan kok. Aku saja yang cepat bosanan. Sumpah deh!
Aku melihat Handoko dari jendela perpustakaan. Mencurigakan sekali karena dia membawa karung goni besar dan mengendap-endap di sekitaran kantin. Aku memperhatikan dan siap siaga berteriak maling kalau dia kudapati mencuri jajanan di kantin. Segera aku terperanjat. Yang diambilnya adalah botol bekas di tong sampah dan sampah plastik yang berceceran di sekitaran kantin.
"Owalah Gusti.. astaghfirullah." Ak menyesali prasangka buruk yang menyelimuti hatiku tadi. Ku tinggalkan cerpenku yang hampir selesai dan pergi menemui Handoko.
"Handoko," aku menyapanya sangat pelan. Takut dia terkejut dengan kedatanganku.
"Eh, Fahrul... ini... aku anu cuma...," dia tidak melanjutkan dan memilih duduk di sebelahku. Aku diam menunggu.
"Ibuku sakit-sakitan, Rul. Bapakku di Jakarta nggak pernah ada kabar. Adik perempuanku udah ngga sekolah karena merawat ibu."
Aku diam. Dadaku rasanya sesak dan tenggorokanku tercekat, kalau menangis pastilah mudah. Tapi tentu tidak solutif.
"Apa yang bisa aku bantu buatmu, Han?"
"Enggak usah Rul, inikan masalahku." Dan dia berlalu pergi. Badannya yang lebih kecil dariku tertutup karung goni di punggungnya.
***
Semalaman aku tak bisa tidur. Makan saja tak enak. Sayur bayam rasanya tawar. Ayam goreng rasanya seperti makan jambu mentah. Aku kepikiran Handoko dan keluarganya. Membayangkan Ibunya yang kesakitan. Membayangkan adik perempuannya yang menangis lapar. Membayangkan Handoko yang kelimpungan dengan situasi yang sedang dihadapinya sementara dia harus tetap baik-baik saja.