Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tangani Pandemi Covid-19, Belajar dari Wabah Pes di Jawa

11 Juli 2021   11:07 Diperbarui: 11 Juli 2021   11:29 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wabah pes di Jawa (historia.id)


Bencana wabah yang sangat mengerikan muncul secara tak terduga. Sudah berapa korban yang bergelimpangan, atau pun tewas karena Covid-19. Di dunia maupun di Indonesia.

Tahukah Anda, sebelum itu, di Jawa dulu juga pernah pagebluk wabah yang menular dan mematikan seperti korona saat ini.

FX Domini B B. Hera, sejarawan dan peneliti di Pusat Studi Budaya dari Universitas Brawijaya Malang, seperti yang ditulis Tempo, mengatakan seorang ibu menceritakan pengalamannya saat terjadi wabah penyakit pes yang berkecamuk di Jawa pada tahun 1911. 

Pada saat itu ribuan orang Jawa meninggal karena terserang wabah pes.

Wabah pes atau atau yersina pestis (dinamai oleh A.J.E. Yersin, seorang bakteriolog Perancis), itu disebabkan oleh bakteri yang berasal dari hewan tikus.

"Banyak penduduk mati. Esuk ketemu, sore mati, sore ketemu esuk mati (pagi ketemu, sore mati, sore ketemu pagi mati). Para petani juga tidak berani ke sawah atau mencari makanan sapi karena takut tertular," kata si ibu.

Kisah pagebluk itu berawal dari adanya gagal panen karena paceklik yang melanda Jawa pada masa itu, yang mana hal tersebut menyebabkan Jawa sangat kekurangan beras.

Oleh karenanya pemerintah Hindia-Belanda mulai mengimpor beras-beras itu dari Rangoon, Burma (sekarang Myanmar), Cina, dan India.

Sejak Agustus 1910 terjadi peningkatan jumlah impor beras.

Kapal pengangkut beras itu tiba dan diturunkan di Surabaya. Dari sana baru beras-beras itu diangkut di gerbong-gerbong kereta api dan disalurkan ke wilayah-wilayah yang paceklik tadi.

Tidak diperiksa terlebih dahulu, beras-beras di dalam gerbong-gerbong kereta itu banyak ditemukan tikus-tikus mati, ada kutunya yang menularkan penyakit pes.

Pada saat pengimporan itu, pemerintah Hindia-Belanda tidak terpikirkan jika di Burma saat itu sedang dilanda epidemi pes.

Saat tiba di Sidoarjo memang kelihatan banyak tikus mati dan kutu-kutu yang terbawa dalam beras-beras itu.

Malang di Jawa Timur menjadi yang pertama terkena wabah yang berasal dari kutu tikus jenis xenopsylla cheopis itu.

Kota yang sekarang dijuluki kota Apel itu pernah dikarantina. Namun pada tahun 1912 statusnya dibuka lagi atas permintaan beberapa pihak, akibatnya korban meningkat dan terjadi penularan yang lebih luas. 

Sosialisasi pemerintah Hindia-Belanda saat itu jelas-jelas telah salah arah dan tidak tepat sasaran. Mereka memasang peringatan di sejumlah desa, pada kala itu tak banyak penduduk yang melek huruf.

Dari Malang wabah menyebar ke seluruh pelosok negeri. Di Jawa Timur korban tewas mencapai lebih dari 40.000 jiwa, Yogyakarta 5.000 jiwa, dan Jawa Tengah lebih dari 77.000 jiwa. Dalam kurun 1911-1939, atau dalam masa-masa meletusnya Perang Dunia pertama.

Rumah penduduk yang dari bambu dibakar karena banyak yang meninggal, mereka yang selamat dipindahkan ke tempat baru. Pada tahun 1911-1914 dibangun 108.116 rumah yang berdinding tembok.

Dokter-dokter dari Eropa ketakutan bertugas di Jawa karena takut tertular. Mereka tidak mempunyai APD (Alat Pelindung Diri) yang memadai.

FX Domini BB Hera mengatakan dokter Eropa yang ada di Jawa cenderung rasis. Mereka menolak melayani dan merawat pasien pribumi.

Oleh karenanya, menurut Domini dokter Bumi Putera mulai turun tangan. "Di antaranya dokter Soetomo dan dokter Tjipto Mangunkusumo," kata Domini dalam sebuah sarasehan beberapa waktu lalu.

Selanjutnya Domini menjelaskan kronologi bagaimana para dokter Bumi Putera membantu rakyat yang menderita.

Domini mengatakan dari 200 an jurnal arkeologi yang pernah dibacanya, hanya 4 jurnal yang membahas wabah atau penyakit masa lalu (Paleo Epidemiologi).

Domini mengatakan tidak banyak peneliti yang fokus pada Paleo Antropologi itu. Di Indonesia hanya ada kurang 5 orang. Infrastruktur penelitian tentang penyakit menular juga terbatas.

Padahal menurutnya, penelitian itu penting untuk mempelajari wabah masa lalu guna mitigasi wabah. Apalagi wabah itu tak terlihat dan sulit terdeteksi seperti Covid-19.

Adapun ciri-ciri mereka yang terpapar itu akan mengalami kondisi muntah-muntah, pembengkakan, nyeri pada kelenjar getah bening, sakit kepala, dan demam dalam waktu satu hingga tujuh hari setelah terkena bakteri.

Dua tahun telah berlalu dunia dan Indonesia mengalami pandemi Covid-19. Sejumlah upaya telah diusahakan, dari protokol kesehatan 3M, 3T, dan vaksinasi.

Indonesia bahkan kini tercatat dengan jumlah kasus harian tertinggi di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun