Mereka beralasan di negaranya banyak emigran yang datang, dan jika ada larangan, maka jumlah wisatawan yang datang ke negaranya akan tergerus.
Oleh karena adanya larangan Minol ini berdampak kepada sektor wisata, maka sejumlah kalangan mengusulkan agar mengecualikan sektor wisata.
Namun pendapat itu ditentang oleh PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama). Asnawi Ridwan dari PBNU mengatakan tidak ada pengecualian dari RUU Minol ini untuk sektor wisata nantinya.
Usulan sektor wisata yang mendapatkan tempat tersendiri di RUU Larangan Minol sudah dimasukkan dalam hal jual beli maupun pengonsumsian alkohol.
Asnawi mengemukakan alasannya, menurutnya pendapatan negara dari minuman beralkohol tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya.
"Pendapatan yang Rp 3,16 triliun dari Minol tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan mengonsumsi alkohol. Seperti kematian, kekerasan, atau kecelakaan. Maka menurut kami tidak ada toleransi bagi wisata," kata Asnawi, Kamis (27/5/2021) dalam Rapat Dengar Pendapat di Badan Legislasi DPR RI.
Menurutnya peraturan itu harus ditaati oleh seluruh warga negara tanpa pengecualian.
"Jika tempat-tempat tertentu diijinkan, ini tidak adil," katanya.
Dalam RUU Minol juga dicantumkan ada pengecualian untuk ritual keagamaan tertentu. Dalam hal ini, Asnawi mengusulkan agar Minol yang dikonsumsi jangan sampai memabukkan.
"Ada agama yang mengunakan alkohol untuk jamuan. Kami toleransi selama tidak sampai memabukkan. Karena agama pasti melindungi untuk kesehatan dan jiwa," katanya.
Sementara minuman beralkohol yang digunakan dalam tradisi tertentu PBNU mengusulkan agar Minol itu digunakan untuk upacara adat yang berlisensi sebagai budaya tradisional.