Banyaknya kemiripan itu juga berawal dari abad ke 14 dimana pada saat itu telah terjadi komunikasi dagang antara suku-suku yang ada di Nusantara seperti Batak, Minang, Palembang, Sunda, dan Jawa dengan penduduk lokal di Filipina.
Adapun lingua franca atau bahasa pengantar yang digunakan saat itu adalah bahasa Melayu.
Bahasa Melayu ini lantas bercampur dengan bahasa yang digunakan di wilayah Filipina saat itu.
Masih banyak lagi kata-kata yang belum sempat disebutkan di atas. Oleh karena beradaptasi maka ada yang bunyinya dan artinya sama, katanya sama tapi artinya berbeda, kata sedikit berbeda tapi artinya sama.
Bahkan ada juga bahasa di Filipina yang mirip dengan bahasa daerah yang ada di dalam Indonesia.
Soehardi mengatakan banyak orang-orang Filipina masa kini yang mengakui bahwa kita (Indonesia dan Filipina) adalah bersaudara karena banyak kemiripan dari segi bahasa maupun budaya.
Bukti adanya komunikasi dari orang-orang Nusantara dengan penduduk Filipina juga terlihat bahwa di Filipina sekarang masih ada tersisa sekitar 500 penduduk keturunan Batak Sumatera. Hampir punah.
Mereka menjadi salah satu 70 suku pribumi yang dari Filipina. Para antropolog menyebut keturunan Batak Sumatera itu dengan Tiniatianies.
Tiniatianies memiliki ciri-ciri yang sama dengan suku Batak yang ada di Sumatera saat ini, mulai dari rambut, kulit, maupun tubuh mereka.
Selama berabad-abad lamanya Tiniatianies hidup nomaden di hutan-hutan. Mereka masih menganut faham dinamisme dan animisme.
Kendati sampai saat ini belum ada penelitian yang akan membuktikan keterkaitan Batak di Filipina dengan di Sumatera, namun banyak kesamaan dalam hal budaya, terutama dalam adat perkawinan.