Wabah Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, mau tak mau hal tersebut memaksa pemerintah negara-negara di dunia menerapkan aturan protokol kesehatan demi keselamatan warganya.
Seperti umum kita ketahui aturan protokol kesehatan yang dikampanyekan itu adalah memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun.
Sekarang muncul pertanyaan apakah setelah divaksinasi maka seseorang sudah bebas dalam artian tidak perlu memakai masker lagi?
Penelitian di Amerika Serikat mendapatkan memang benar, setelah divaksinasi penuh (dua kali) maka seseorang sudah kebal dan tidak memerlukan masker, bahkan tidak juga perlu menjaga jarak.
Berkaitan dengan itu, beberapa sumber menyebutkan hingga saat ini sudah ada 5 negara di dunia yang pemerintahnya mencabut kembali larangan menggunakan masker, setelah divaksinasi penuh.
Ke-5 negara yang dimaksud adalah Israel, Cina, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Bhutan.
Israel, negara yang kini sedang disorot dunia terkait dengan peperangan melawan Palestina, bahkan tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mencabut larangan kepada warganya untuk mengenakan masker penutup wajah setelah divaksinasi.
Data membuktikan 70 persen penduduk Israel sudah melakukan vaksinasi penuh.
Pekan lalu CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) Amerika Serikat mengumumkan bahwa masyarakat kini boleh tidak menggunakan masker lagi atau pun menjaga jarak.
Pernyataan Direktur CDC, dr. Rochelle Walensky, itu bahkan mendapatkan sambutan gembira dari Presidennya sendiri, Joe Biden. "Ini adalah tonggak sejarah yang penting," kata Biden.
Hingga saat ini tercatat sudah ada 36 persen penduduk AS yang sudah divaksinasi penuh. Pada kenyataannya, memang kasus Covid-19 di sana menurun drastis setelah program vaksinasi tersebut.
Langkah itu bahkan mendapatkan sambutan hangat dari para pakar kesehatan terkait. Salah satunya dari Direktur Pusat Riset dan Kebijakan Penyakit Menular dari University of Minnesota, Michael Osterholm.
"Ini yang harus kita lakukan kini. Ini adalah berdasarkan riset," katanya.
Selandia Baru, negara yang terletak di bagian tenggara Indonesia, ini mendapatkan pujian dunia internasional, karena sejak mulai terjadinya virus korona dua tahun lalu, hingga saat ini di sana hanya tercatat 26 kematian saja.
Pemerintah Selandia Baru dengan Perdana Menterinya Jacinda Arden bertindak cepat begitu mendengar wabah ini akan menyerang.
Beberapa hari lalu, sebuah konser yang digelar di Auckland, ibukota Selandia Baru, dihadiri lebih dari 50 ribu orang tanpa mengenakan masker atau pun menjaga jarak!
Bhutan, sebuah kerajaan yang terhimpit antara Cina dan India juga sangat mengagumkan. Sejak dimulainya pandemi, kerajaan kecil yang dijuluki "Negara Naga" itu hanya ada 1 kematian saja terkait pandemi.
Hebatnya lagi, sejauh ini Bhutan belum pernah melakukan apa yang disebut dengan lockdown. Tindakan tepat waktu dalam menangani kasus ini.
"Negara Naga" sampai saat ini bahkan sudah melakukan vaksinasi kepada 90 persen penduduknya, dan itu dilaksanakan hanya dalam waktu dua minggu saja!
Negara yang menjadi cikal bakal meluasnya Covid-19, Cina, ini konon juga akan membebaskan protokol mengenakan masker karena hampir semua penduduknya sudah melakukan vaksinasi.
Negara Panda ini kini bahkan sudah mulai membuka pariwisatanya. Atau pun hotel, restoran, dan tempat hiburan lain sudah dibuka sepenuhnya.
Bagaimana tanggapan organisasi kesehatan dunia WHO atau pun Indonesia menanggapi keputusan negara-negara itu?
"Vaksinasi memang menyelamatkan, tapi itu tidak bekerja sendiri," kata Ketua Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan.
Soumya mengatakan orang yang sudah divaksinasi tidak seratus persen efektif mencegah. "Masih bisa menularkan kendati kemungkinannya kecil," katanya.
Prof Wiku Adisasmito, Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, menanggapi vaksinasi hanyalah salah satu pelapis dari 3 lapis utama perlindungan masyarakat terhadap Covid-19.
Sebelum ada bukti ilmiah, 3 lapis utama itu masih tetap diberlakukan. 3 lapis utama yang dimaksudkan adalah 3M, 3T, dan vaksinasi sendiri.
3T adalah tracing, testing, dan treatment.
Sedangkan Prof Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan kebijakan AS itu dipengaruhi karena jenis vaksin yang dipakai di sana.
AS melakukan penelitian terhadap vaksin Pfizer, Johnson & Johnson, dan Modena, sedangkan Indonesia menggunakan Sinovac, AstraZaneca, dan Sinipharm.
Menurut Yoga tidak tertutup kemungkinan Indonesia juga akan melakukan vaksin yang sama seperti di A$.
"Kita tunggu saja keputusan Kementerian Kesehatan," kata Yoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H