Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 108 tertanggal 2 Mei 1964, pemerintah Indonesia menetapkan bahwa tanggal 21 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kartini.
Ketetapan itu adalah selain untuk inspirasi juga untuk menghormati jasa-jasa Raden Ajeng (RA) Kartini yang berjuang untuk bangsanya demi memajukan harkat kaum perempuan Indonesia agar setara dengan kaum lelaki.
Kartini adalah seorang bangsawan, dia dilahirkan di Jepara, 21 April 1879. Ayahnya adalah seorang Bupati bernama Raden Mas Sosroningrat dan ibunya adalah M.A. Ngasirah.
Menarik disimak kisah Kartini di masa kecilnya. Acehtrend.co memuat artikel berjudul "Menebak Agama Kartini, Islam atau Buddha?".
Dalam bunga rampai tulisan kepada teman-temannya di Belanda, konon Kartini sering menggunakan istilah yang berbau agama Buddha untuk menyampaikan uneg-unegnya.
Seperti diketahui, karena kepandaiannya dalam hal menulis dan membaca, Kartini sering melakukan korespondensi dengan teman-temannya di negara yang berjuluk Kincir Angin.
Bahkan pada tahun 1911 koleksi surat-surat Kartini itu dijadikan buku oleh sahabatnya yang orang Belanda bernama Mr JH Abendanon. Abendanon memberi judul bukunya Door Duisternis tot Licht.
Buku itu lantas diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia pada tahun 1922 oleh sastrawan Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Dan diterbitkan pada tahun 1922 itu juga oleh Balai Pustaka.
Kisah Kartini sang pejuang dan pahlawan bagi kaumnya memang menarik perhatian.
Kisahnya berawal ketika Kartini masa kecil. Kartini kecil (7 tahun) sakit dan badannya menggigil. Ayahnya, Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, memanggil dan mendatangkan dokter untuk mengobati anaknya.
Akan tetapi dokter tak sanggup untuk menyembuhkan Kartini kecil.
Pada saat itu ada seorang Cina yang sedang dihukum oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Lelaki Cina yang dimaksud itu dan sudah dikenal oleh 3 anak Ario Sosroningrat, lalu datang bertamu ke rumah Ario Sosroningrat dan menawarkan bantuan untuk mengobati Kartini.
Oleh lelaki Cina itu Kartini disuruh minum air yang sudah dicampur abu yang berasal dari hio (dupa biting) dari sebuah kelenteng di Welahan, Kabupaten Jepara.
Di wilayah itu memang banyak kelenteng tempat peribadatan mereka yang beragama Konghucu atau Buddha.
Ajaib, Kartini lalu sembuh dari penyakitnya setelah minum air yang dicampur abu hio tersebut.
Kejadian ini bahkan diceritakan Kartini dalam suratnya yang ditujukan kepada Nyonya Rosa Abendanon-Mandri. "Apa yang tak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar, namun berhasil dengan obat tukang jamu" tulis Kartini dalam surat tertanggal 27 Oktober 1902.
Nyonya Rosa Abendanon-Mandri seperti yang disebutkan di atas adalah istri dari Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia-Belanda.
Tadi di atas disebutkan jika Kartini sering menyebut kata-kata yang berbau agama Buddha.
"Ketahuilah Nyonya, saya anak Buddha, dan itu jadi alasan mengapa saya tidak makan daging" tulis Kartini kepada Abendanon di Belanda.
Dalam agama Buddha memang ada larangan untuk tidak makan daging. Hanya diperbolehkan makan sayur-sayuran saja. Atau biasa disebut dengan vegetarian.
Setahun sebelum menulis surat tersebut, Kartini menyempatkan diri datang ke kelenteng dimana abu yang dicampurkan dengan air dan diminum Kartini dan berhasil sembuh itu diambil.
Di Welahan itu Kartini sempat menyaksikan upacara memperingati ulang tahun arwah.
Sebenarnya Abendanon tidak percaya kepada segala sesuatu yang berbau takhayul. Kartini berusaha memberikan pemahaman yang logis kepada sahabatnya itu.
Percaya atau tidak percaya. Konon desa di wilayah Kabupaten Jepara terbebas dari wabah penyakit setelah patung Dewa Santik Kong dibawa dan diarak keliling desa.
Dewa Santik Kong memang dianggap sebagai dewa penyembuh. Kartini pun sembuh karena meminum abu dari dewa Santik Kong yang dicampur air seperti yang sudah disebutkan di atas. Oleh Kartini Santik Kong ini disebut dengan "Bapak Besar"
Asap dari dupa biting yang diarak itu menyebar ke seluruh penjuru desa untuk menangkal virus penyakit.
Dalam suratnya Kartini juga menjelaskan sikap vegetarian nya sudah dimulai ketika dia berusia 14-15 tahun. Semula Kartini tidak memberitahu keluarganya tentang sikap vegetarian itu.
Akan tetapi setelah diberitahu, beberapa saat sebelum dia menulis surat itu, ibunya tidak tidak menentang sikap Kartini, malah bergembira.
Sejarawan JJ Rizal menyebutkan surat Kartini itu menunjukkan keterbukaan pemikiran Kartini tentang agama-agama di sekitarnya.
"Kartini seorang Muslim, terkesan dengan Buddha, dan bergaul dengan orang Kristen," kata Rizal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H