Namun sayangnya aksi Komarudin yang dibantu oleh juga oleh Abubakar dan Usman itu harus berakhir karena mereka tertangkap di tempat persembunyiannya di Gunung Dora, perbatasan antara Garut dan Tasikmalaya.
Hal tersebut memungkinkan karena pasukan Belanda berkekuatan besar. Kendati jembatan sudah dihancurkan namun Belanda mencari jalan lain dan tempat persembunyian Komarudin, Abubakar, dan Usman dibocorkan oleh mata-mata yang berkhianat.
Ketiganya dan seorang pribumi anggota PPP lainnya yang bernama Djoehana dieksekusi Belanda.
Komarudin dieksekusi dengan cara ditembak mati. Dia gugur pada tahun 1949 dalam usianya yang ke 30 dan meninggalkan seorang anak yang bernama Edi Jawan yang baru berusia 1 tahun.
Yang Chil-seong sendiri menikah dengan seorang wanita asli Indonesia asal Garut dan lantas memeluk agama Islam.
Sedangkan Djoehana mendapatkan hukuman seumur hidup di lapas Cipinang.
Mereka dimakamkan di TPU Pasir Pogor. Dan pada tahun 1975 jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut, Jawa Barat.
Selanjutnya, sejarawan asal Korea dan Jepang mengadakan riset untuk mencari informasi soal identitas yang lebih lengkap Yang Chil-seong. Kedua sejarawan itu berhasil mengumpulkan informasi dari beberapa orang rekan-rekan seperjuangan Yang Chil-seong yang masih hidup.
Pada tahun 1995, pemerintah Indonesia dan perwakilan Korea Selatan mengadakan upacara penggantian nisan Yang Chil-seong dengan penghormatan secara militer.
Sejak saat itu, Yang Chil-seong dianggap sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari merdeka.com, dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke 74, pada tanggal 16 Agustus 2019 lalu Koramil setempat dan sejumlah warga Garut mengadakan kunjungan ke makam Komarudin.