Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengorbanan Menteri Soepeno yang Ditembak Mati Belanda Tidaklah Sia-Sia

20 Maret 2021   10:05 Diperbarui: 20 Maret 2021   11:06 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Soepeno (sejarahone.id)


Milenial kini banyak yang belum tahu jika tidak pernah membaca sejarah. Milenial mengenal jika pusat pemerintahan Republik Indonesia ini adalah di Jakarta. 

Namun apakah mereka tahu jika ibu kota Indonesia pernah juga di Yogyakarta?

Ya, Yogyakarta pernah menjadi pusat pemerintahan. Tanggal 4 Januari 1946 tercatat dalam sejarah mulai pindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta.

Sebabnya karena setelah Dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI ke seluruh dunia pada 17 Agustus 1945. Kondisi saat itu masih jauh dari aman.

Belanda masih tetap mengganggu keberadaan negara. Belanda terus meneror Soekarno dan Mohammad Hatta untuk melemahkan pemerintahan yang baru saja terbentuk. Situasi kacau balau inilah yang memaksa pusat pemerintahan dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.

Pindah ke Yogyakarta, Belanda melakukan agresi militer ke II dan merebut Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Karenanya, pemerintahan menjadi semrawut. Ketiga tokoh utama republik, masing-masing Presiden Soekarno, Mohammad Hatta, dan Soetan Sjahrir ditangkap dan diasingkan.

Bukan hanya sampai di situ, para menteri kabinet juga kocar-kacir. Salah satu di antara menteri saat itu ada yang bernama Soepeno. 

Soepeno yang dijuluki sebagai "Sang Menteri Gerilya" itu memang ada disebut-sebut dalam sejarah bangsa Indonesia. Kendati ketenarannya bisa dibilang kalah dibandingkan dengan nama-nama seperti Agus Salim, Amir Syarifuddin, dan tokoh-tokoh lainnya di era Soekarno.

Dijuluki "Sang Menteri Gerilya" barangkali cikal bakal nya dari peristiwa berikut ini.

Bersama-sama dengan Menteri Agama saat itu, Kyai Masykur, dan Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo, Soepeno melarikan diri Jawa Timur terkait situasi yang amburadul di Yogyakarta akibat disebutnya Yogyakarta oleh Belanda seperti yang disebutkan di atas.

Mereka bermaksud menyusul dan bergabung dengan rombongan gerilya Jenderal Soedirman.

Ada tertulis jika terjadi kekosongan dalam suatu pemerintahan, maka keberadaan suatu negara akan dianggap hilang. Alhasil, untuk menghindari kevakuman itu, Soepeno, Kyai Masykur, dan Soesanto Tirtoprodjo bertekad untuk tetap melanjutkan pemerintahan.

Untuk itu dibentuklah PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di hutan belantara Gunung Wilis. Kendati mereka bertiga di Jawa Timur, akan tetapi PDRI ini dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Pengamat sejarah mengatakan Lereng Wilis lokasi strategis untuk menyusun taktik. Hal tersebut dikarenakan letaknya yang berdekatan dengan Markas Divisi I, Komando Distrik Militer Jawa Timur (sekarang Kodam V Brawijaya).

Pernyataan itu ada disebut-sebut dalam sebuah buku yang berjudul "Bung Tomo, Suamiku" yang ditulis oleh Soelistina Soetomo, istri dari Bung Tomo.

Sebagai catatan, Bung Tomo atau Soetomo ini namanya meroket sebagai pimpinan pertempuran 10 Nopember 1945 melawan tentara Inggris di Surabaya.

Bung Tomo bertemu dengan Soepeno dkk ketika Soetomo diutus Gubernur Militer Timur, Mayor Jenderal Soengkono. Bung Tomo menyambangi Lereng Wilis bertemu dengan ketiga menteri tersebut sebagai jembatan informasi antara Pemerintah Pusat dengan militer.

Untuk menghindari kecurigaan dan upaya penemuan persembunyian ketiga menteri tersebut, konon ketiga menteri itu sering berpindah-pindah tempat di sekitar Gunung Wilis.

Dalam mencari keberadaan ketiga menteri itu, Belanda tak segan-segan melakukan kekerasan dan mengeksekusi siapa saja, baik orang muda atau pun orang tua.

Setiap rumah yang diduga menjadi tempat persembunyian tak segan digeruduk dengan semena-mena. Belanda juga menggedor pintu yang tidak dibukakan.

Bung Tomo sempat mengatakan tentang tindakan semena-mena itu. "Jika Belanda menemukan pria berkumis, pasti ditembak," kata Bung Tomo.

Pria berkumis yang dimaksud disini merujuk kepada Menteri Soepeno yang memang berkumis.

Pada 24 Pebruari 1949, ketika Soepeno dan kawan-kawannya sedang mandi di sebuah mata air, mereka kesampak tentara Belanda.

"Siapa kamu?," Kata tentara Belanda itu sembari menodongkan pistol yang diarahkan ke kepala Soepeno.

Soepeno menjawabnya dengan mengatakan bahwa dia adalah penduduk biasa. Namun prajurit itu tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan Soepeno.

Si prajurit memaksa si pria berkumis untuk berbicara, namun Soepeno tetap bungkam seribu bahasa.

Saking jengkelnya, si prajurit mematuk pistolnya sehingga menyebabkan Soepeno tewas seketika. Soepeno gugur dalam usia 33 tahun.

Pengorbanan jebolan Sekolah Tinggi Hukum Rechts Hogeschool te Batavia itu tidak sia-sia. Andai saja Soepeno buka mulut ketika ditodongkan pistol ke pelipisnya, maka tak pelak keberadaan Bung Tomo, Jenderal Soedirman akan diketahui. Tutup mulutnya Soepeno telah menyelamatkan nyawa para pejuang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun