Ada tertulis jika terjadi kekosongan dalam suatu pemerintahan, maka keberadaan suatu negara akan dianggap hilang. Alhasil, untuk menghindari kevakuman itu, Soepeno, Kyai Masykur, dan Soesanto Tirtoprodjo bertekad untuk tetap melanjutkan pemerintahan.
Untuk itu dibentuklah PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di hutan belantara Gunung Wilis. Kendati mereka bertiga di Jawa Timur, akan tetapi PDRI ini dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Pengamat sejarah mengatakan Lereng Wilis lokasi strategis untuk menyusun taktik. Hal tersebut dikarenakan letaknya yang berdekatan dengan Markas Divisi I, Komando Distrik Militer Jawa Timur (sekarang Kodam V Brawijaya).
Pernyataan itu ada disebut-sebut dalam sebuah buku yang berjudul "Bung Tomo, Suamiku" yang ditulis oleh Soelistina Soetomo, istri dari Bung Tomo.
Sebagai catatan, Bung Tomo atau Soetomo ini namanya meroket sebagai pimpinan pertempuran 10 Nopember 1945 melawan tentara Inggris di Surabaya.
Bung Tomo bertemu dengan Soepeno dkk ketika Soetomo diutus Gubernur Militer Timur, Mayor Jenderal Soengkono. Bung Tomo menyambangi Lereng Wilis bertemu dengan ketiga menteri tersebut sebagai jembatan informasi antara Pemerintah Pusat dengan militer.
Untuk menghindari kecurigaan dan upaya penemuan persembunyian ketiga menteri tersebut, konon ketiga menteri itu sering berpindah-pindah tempat di sekitar Gunung Wilis.
Dalam mencari keberadaan ketiga menteri itu, Belanda tak segan-segan melakukan kekerasan dan mengeksekusi siapa saja, baik orang muda atau pun orang tua.
Setiap rumah yang diduga menjadi tempat persembunyian tak segan digeruduk dengan semena-mena. Belanda juga menggedor pintu yang tidak dibukakan.
Bung Tomo sempat mengatakan tentang tindakan semena-mena itu. "Jika Belanda menemukan pria berkumis, pasti ditembak," kata Bung Tomo.
Pria berkumis yang dimaksud disini merujuk kepada Menteri Soepeno yang memang berkumis.