Sebuah fenomena yang masih menjadi tanda tanya. Beberapa media memuat laporan seorang bocah berusia 3,5 tahun yang tinggal bersama ibunya Hani (36) di Kampung Pondok Udik, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, memiliki bola mata yang berlainan dengan orang-orang Indonesia lainnya.
Sang bocah, Alessia Juliano Musabali, memiliki bola mata berwarna biru. Tidak ada dari garis keturunannya, si bocah berdarah Ras Kaukasoid, atau orang-orang Eropa bermata biru.
Apakah Juliano mempunyai penyakit tertentu karena kelainan itu?
Hani menceritakan bahwa sifat anaknya itu pendiam dan mempunyai kelebihan dibandingkan anak-anak lainnya.
Kelebihan itu terlihat sejak Juliano berusia 2 tahun. "Dia suka ngomong sendiri, entah dia berbicara dengan siapa," kata Hani.
Seperti dalam cerita sinetron saja. Hal tersebut sempat saya tonton. Seorang anak berbicara dengan seseorang makhluk gaib. Hani pun mengiyakan anaknya bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat manusia biasanya.
Berbicara dengan makhluk tak kasat mata?
"Semalam dia pulang, lalu menunjuk ke arah pohon nangka," ujar Hani, Senin (22/2/2021).
Seperti biasa Juliano memang kabur ke rumah kalau melihat sesuatu yang menyeramkan. "Sejak umurnya 2 tahun," kata Hani.
Karena mata birunya itu Juliano kerap dimintai foto bersama. "Pada geregetan. Dokter juga bilang 'bu, anaknya buat saya saja ya'," tuturnya.
Mata biru Juliano sudah ada sejak dia lahir. Dalam proses perkembangan bayi, dalam 1 atau 2 bulan si bayi apakah dia sudah bisa melihat atau belum. "Ketahuannya ketika dia berusia 3 bulan," tutur Hani lagi.
Sempat khawatir ada apa-apanya, Hani sempat berkonsultasi dengan dokter. Akan tetapi, Hani kaget karena dokter menyatakan anaknya tidak punya penyakit tertentu, alias normal-normal saja.
"Anaknya pakai lensa ya?" Ada orang yang berkata begitu kepada Hani. Juliano karenanya menjadi perhatian publik.
Apakah fenomena ini diturunkan dari nenek moyang si bocah, Hani menjelaskan kalau dari pihaknya tidak ada. "Tapi jika dari suami saya, nenek moyang nya begitu. Berasal dari Flores," jelas Hani.
Secara wilayah, orang-orang bermata biru ini di Indonesia banyak didapati di Halmahera, propinsi Maluku. Di Ambon Manise ini terdapat fenomena yang belum terpecahkan, dimana di sana ada Suku Lingon, yang konon bermata biru, banyak sekali.
Suku Lingon ini hidup terpencil dan sulit ditemui, mereka juga konon masih menganut animisme dan dinamisme.
Kisah ini diperkirakan berasal dari kedatangan orang-orang Portugis dahulu ke wilayah Maluku dengan dua tujuan yaitu untuk mencari rempah-rempah dan untuk menyebarkan agama Katolik.
Akan tetapi gelombang laut membuat rombongan Portugis itu terdampar di Halmahera dan tidak bisa kembali melaut. Mereka bahkan masuk ke hutan dimana suku Lingon tinggal. Di sinilah lantas mereka bercampur kawin.
Konon tidak sedikit orang-orang yang menculik gadis Lingon untuk dijadikan istri, karena bermata indah. Orang-orang Lingon sempat memeluk Katolik seperti misi yang dibawa Portugis. Namun mereka balik lagi ke animisme dan dinamisme yang sulit mereka lepaskan.
Wilayah lainnya yang banyak penduduknya bermata biru adalah Minangkabau di Sumatera Barat.
Namun nampaknya mereka bukan keturunan Ras Kaukasoid. Rupanya mereka menderita penyakit apa yang disebut dengan Sindrom Waardenburg. Dokter Alana Biggers, lulusan Universitas Illinois, Chicago, Amerika Serikat, mengatakan sindrom Waardenburg ini diderita oleh 1 dari 40.000 orang di dunia, jadi penyakit langka.
Mereka yang mengidap Waardenburg ini unik. Mereka tidak bisa melihat cahaya yang sangat terang, akan tetapi mampu melihat benda walaupun dalam keadaan gelap.
Orang-orang Waardenburg ini mempunyai kelemahan. Selain matanya biru, akan tetapi pendengaran mereka terganggu. Baik di kiri, kanan, atau keduanya.
Waardenburg ini berasal dari dokter yang pertama kali mengidentifikasi kelainan itu pada tahun 1951, dialah dokter mata asal Belanda bernama D.J. Waardenburg.
Jika D.J. Waardenburg menemukan kelainan itu, lalu siapa yang bakal menemukan kelainan yang dialami Alessia Juliano Musabali?
Dunia medis saya yakin bakal geleng-geleng kepala melihat apa yang terjadi pada Juliano.
Dimanakah Hani akan menyekolahkan anaknya, di SLB (tapi anaknya tidak punya kelainan, malah kelebihan), atau di TK biasa?
Menjawab hal tersebut, Hani mengatakan belum punya rencana mau disekolahkan dimana karena anaknya baru berusia 3,5 tahun. "Kalau ya, saya ingin di TK yang dekat di sini," tutur Hani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H