Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Vittoria", Kisah Cinta Berlatar Belakang Konflik Indonesia dan Timor Leste

12 Februari 2021   11:03 Diperbarui: 12 Februari 2021   13:13 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sangat jarang, kisah cinta antara dua insan yang berbeda negara menjalin cinta dan dituangkan dalam sebuah buku, isinya sungguh mengharukan.

Seperti diketahui Indonesia sempat mengklaim jika Republik Demokratik Timor Leste (dahulu Timor Timur) sebagai propinsi nya yang ke 27.

Dua lusin tahun, dari 1975 hingga 1999, negara kita menjajah Bumi Lorosae. Banyak konflik yang terjadi, banyak korban jiwa dan penderitaan lainnya yang dialami rakyat Timor Timur. Konflik menyebabkan mereka miskin dan penyakit merajalela.

Namun di tengah-tengah kemelut tersebut muncul sinar dari kisah cinta yang sungguh mengharukan antara wanita Timor Leste dengan pria Indonesia.

Ternyata cinta tak kenal dengan permusuhan atau kebencian antar dua bangsa. Bertempat di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta Barat, Jakarta (31/8/2015) lalu, diadakan launching buku berjudul "Vittoria Helena's Brown Box". Karya Eurfasia Vierra (EV) yang berdarah Timor Leste dan Les D. Soeriapoetra (Dodi) dari Indonesia.

Rosliana Silalahi yang hadir dalam acara tersebut sebagai pembahas mengamini yang membedakan kisah cinta dalam buku tersebut dengan kisah asmara lainnya adalah latar belakangnya yang berisikan penuh kebencian, keganasan, dan kekerasan.

"Saat ada kisah asmara antara dua insan yang berbeda latar belakang, tentunya sangat menarik," kata Rosliana. EV dan Dodi mewakili dua tokoh dalam novel itu, yaitu Helena dan Andrea.

Berkaitan dengan "bulan cinta" sekarang ini, Vittoria Helena seorang wanita Timor Timur mengalami pahit getirnya konflik politik di tanahnya terpanah panah asmara dengan Andrea , seorang pria Indonesia, yang berprofesi sebagai seorang wartawan. Dan meliput apa yang terjadi di NKRI.

Eurfasia Vierra mengakui jika buku tersebut adalah buku pertamanya yang terbit dengan latar belakang konflik politik antara Indonesia dengan Timor Timur.

Ide untuk membuat buku tersebut konon muncul ketika sang penulis duduk di dapur kecilnya di negara Ratu Elizabeth, di London, Inggris.

Eurfasia sendiri sempat mengalami sendiri peristiwa-peristiwa nyata keluarganya di Timor Timur pada tahun 1999.

Tujuan penerbitan buku tersebut menurut sang penulis adalah untuk menghapus kebencian yang pernah terjadi dan kini menghangatkan relasi yang terjalin antara Indonesia dan Timor Leste.

"Untuk membangun bangsa," kata Eurfasia.

Dengan banderol seharga Rp 85.000, buku "Vittoria Helena's Brown Box" tersebut memiliki 472 halaman. Hadir di seluruh Toko Buku Gramedia.

Sebagai pengingat, militer Indonesia mulai terjun ke Bumi Lorosae pada 7 Desember 1975, atau 9 hari setelah Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Portugis yang telah menjajah mereka sejak abad ke 16, 28 Nopember 1975.

Belum adanya pemerintahan terbentuk, Indonesia memanfaatkan kesempatan itu untuk invasi. Tak pelak karenanya terjadi bentrokan antara Indonesia dengan Fretilin yang banyak menimbulkan korban jiwa dari penduduk.

Tercatat lebih dari 200.000 tewas karena konflik, kemiskinan, dan penyakit. Internasional bahkan menyebutkan peristiwa itu sebagai genosida terburuk abad ke 20.

Memang pedih apa yang dialami rakyat di sana. Belum lepas mereka dikungkung Portugis, mereka langsung saja dibekap oleh Indonesia.

Indonesia tak rela jika "Si Anak Hilang" berdiri begitu saja sebagai sebuah negara. Indonesia berhasrat untuk menjadikan Timor Timur bagiannya, propinsi Indonesia yang ke 27.

"Si Anak Hilang" adalah julukan yang diberikan oleh Presiden RI ke 2 Soeharto. Merujuk kepada Timor Timur yang dijajah Portugis, sedangkan mayoritas Indonesia lainnya dipengaruhi Belanda.

Melihat kejadian mengerikan tersebut, PBB menggelar referendum pada 30 Agustus 1999 untuk menentukan nasib. Sayangnya, cuma 21 persen saja yang ingin tetap NKRI, sisanya mereka ingin menikmati kemerdekaan.

Orang-orang yang pro Indonesia di sana tak rela Timor Timur lepas dari genggaman. Didukung militer Indonesia, mereka memporak-porandakan segala sesuatu, melakukan banyak genosida lagi, dan ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi ke Atambua (wilayah barat yang berbatasan dengan NTT).

PBB kembali campur tangan. PBB membentuk Interfet yang terdiri dari 20 negara dengan dipimpin oleh Australia dan Selandia Baru untuk mengakhiri kekerasan itu. Pada akhirnya, Indonesia pun angkat kaki dari sana.

Timor Timur diakui sebagai sebuah negara resmi pada 20 Mei 2002. Namanya lantas berubah menjadi Timor Leste (dari bahasa Portugis).

Dalam perjalanannya menuju sebuah negara, Timor Leste lantas mewujudkan salah satu mimpinya. Pada tahun 2011, Timor Leste diterima menjadi anggota ASEAN yang ke 11. Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara tersebut pada saat itu dipimpin oleh Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun