Tujuan penerbitan buku tersebut menurut sang penulis adalah untuk menghapus kebencian yang pernah terjadi dan kini menghangatkan relasi yang terjalin antara Indonesia dan Timor Leste.
"Untuk membangun bangsa," kata Eurfasia.
Dengan banderol seharga Rp 85.000, buku "Vittoria Helena's Brown Box" tersebut memiliki 472 halaman. Hadir di seluruh Toko Buku Gramedia.
Sebagai pengingat, militer Indonesia mulai terjun ke Bumi Lorosae pada 7 Desember 1975, atau 9 hari setelah Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Portugis yang telah menjajah mereka sejak abad ke 16, 28 Nopember 1975.
Belum adanya pemerintahan terbentuk, Indonesia memanfaatkan kesempatan itu untuk invasi. Tak pelak karenanya terjadi bentrokan antara Indonesia dengan Fretilin yang banyak menimbulkan korban jiwa dari penduduk.
Tercatat lebih dari 200.000 tewas karena konflik, kemiskinan, dan penyakit. Internasional bahkan menyebutkan peristiwa itu sebagai genosida terburuk abad ke 20.
Memang pedih apa yang dialami rakyat di sana. Belum lepas mereka dikungkung Portugis, mereka langsung saja dibekap oleh Indonesia.
Indonesia tak rela jika "Si Anak Hilang" berdiri begitu saja sebagai sebuah negara. Indonesia berhasrat untuk menjadikan Timor Timur bagiannya, propinsi Indonesia yang ke 27.
"Si Anak Hilang" adalah julukan yang diberikan oleh Presiden RI ke 2 Soeharto. Merujuk kepada Timor Timur yang dijajah Portugis, sedangkan mayoritas Indonesia lainnya dipengaruhi Belanda.
Melihat kejadian mengerikan tersebut, PBB menggelar referendum pada 30 Agustus 1999 untuk menentukan nasib. Sayangnya, cuma 21 persen saja yang ingin tetap NKRI, sisanya mereka ingin menikmati kemerdekaan.
Orang-orang yang pro Indonesia di sana tak rela Timor Timur lepas dari genggaman. Didukung militer Indonesia, mereka memporak-porandakan segala sesuatu, melakukan banyak genosida lagi, dan ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi ke Atambua (wilayah barat yang berbatasan dengan NTT).