Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Kita Percaya Takhayul, Bagaimana dengan Generasi Milenial?

10 Januari 2021   09:04 Diperbarui: 10 Januari 2021   09:08 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi milenial percaya takhayul? Pada jaman generasi dulu masih banyak orang mempercayai adanya kebenaran dari pandangan tersebut.

Di dunia barat ada istilah triskaidekaphobia. Itu merujuk kepada adanya pengaruh kesialan kepada angka 13. Benarkah?

Rumah Sakit St. Thomas's Hospital di London Inggris terpaksa harus menyingkirkan ranjang nomor 13 dari Rumah Sakit itu karena ketakutan para pasien di sana.

Di Amerika Serikat, mereka kehilangan 900 juta dolar lantaran orang-orang tidak mau bekerja atau naik pesawat pada tanggal 13.

Di masa kecil, teman saya memperingatkan agar jangan kencing di seputar kuburan. Ada lagi yang mengatakan pantang bagi seorang gadis yang belum menikah berdiri di depan pintu.

Mengapa kita percaya takhayul?

Mari kita lihat jawaban itu dari dua orang psikolog, yaitu Teuku Kemal Fasya, S.Ag , M Hum., seorang staf pengajar di Departemen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Dan Dicky Peluppesi, S.Psi., seorang staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Kemal Fasya mengatakan takhayul merupakan kepercayaan supranatural, berhubungan dengan kepercayaan tak masuk akal di masyarakat modern yang bukan dari tuntunan agama.

Kemal membatasi takhayul menjadi dua, yaitu kepercayaan yang berhubungan dengan perasaan atau aspek psikologis yang tidak memiliki urutan nalar dan keyakinan agama. Satu batasan lagi menurut Kemal takhayul itu sesuatu yang tidak diatur di dalam agama dan tak dapat dibuktikan dengan sains.

Sedangkan Dicky menjelaskan takhayul itu bagian dari budaya, dan budaya itu menjadi salah satu dasar perilaku manusia.

Dalam budaya itu kan ada praktek-praktek yang diajarkan generasi sebelumnya. "Takhayul itu itu berproses dari generasi sebelumnya, bisa saja itu bagian dari kebiasaan," kata Dicky.

Selain faktor budaya tadi, Dicky menyebutkan faktor lainnya yang melahirkan sebuah takhayul. Faktor kedua adalah ketidaktahuan kita. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logis atau rasional. "Kita bukanlah makhluk yang serba tahu," tuturnya.

Gunung meletus contohnya. Hal itu dianggap dewa yang berdiam di gunung itu sedang murka. Itu menunjukkan keterbatasan manusia dalam mengolah fenomena dan informasi di lingkungan.

Dalam psikologi, menurut Dicky, manusia bukanlah tipe pemikir yang benar-benar berpikir. Manusia punya keterbatasan, maka kita punya yang namanya jalan pintas.

Takhayul itulah jalan pintas, padahal belum tentu keadaan sebenarnya seperti itu.

Kemal menjelaskan tidak ada perbedaan antara takhayul, mitos, dan pamali. "Tidak ada perbedaan. Ketiganya merujuk kepada kesialan dan keuntungan. Terra in cognita, didapatkan dari kondisi yang tidak bisa dinalar," tutur Kemal.

Kemal pun sependapat dengan Dicky, takhayul adalah sebuah jalan pintas untuk menjelaskan sesuatu sehingga perilakunya terarah.

Ada sesuatu yang tidak terjelaskan saat seseorang mengambil bunga melati dari hiasan pengantin. Atau seseorang merasa nyaman dengan adanya larangan makan di piring besar ketika hamil.

Takhayul yang beredar di masyarakat berbagai macam bentuknya. Barangkali Anda sudah mengetahui beberapa di antaranya. Silakan sebutkan apa yang Anda ketahui.

Dicky menilai semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula orang itu tidak memegang takhayul, mitos, atau pamali. Alasannya, karena pendidikan membantu seseorang berpikir lebih bersikap kritis, rasional, dan logis.

Takhayul, mitos, atau pamali apa lagi yang Anda kenal di lingkungan Anda? Tentu banyak dan beragam.

Berandai-andai, kita boleh bertanya kepada Bapak Rudy Gunawan, seorang Numerolog pertama dan satu-satunya di Indonesia, pemegang rekor MURI sekaligus juga seorang Kompasioner. Apa pendapat beliau dengan angka 13?

Apakah milenial percaya takhayul?

Dalam hal tersebut Dicky berpendapat kemudahan informasi yang diakses, gaya hidup, dan pola pikir, bisa saja pengaruh takhayul, mitos, atau pamali di kalangan milenial menurun.

Kendati mulai ditinggalkan, akan tetapi takhayul, mitos, atau pamali di kalangan masyarakat masih tetap melekat. Dicky mencontohkan masih ada kepercayaan nomor urut partai politik tertentu dapat membawa hoki.

"Sepertinya di tengah masyarakat yang semakin modern dan serba digital, takhayul masih akan tetap ada," kata Kemal.

Kembali ke awal. Untuk membuktikan angka 13 tidaklah sial, para peneliti mengadakan penelitian kepada 1.500 pasien di ICU Southmead Hospital pada kurun tahun 2015-2017.

Ada 110 pasien yang mendapatkan perawatan di ranjang nomor 13. Para peneliti lantas membandingkan kondisi mereka dengan pasien di ranjang nomor 14-24. Hasilnya?

Risiko pasien yang dirawat di ranjang nomor 13 untuk bertambah parah atau mati tidak lantas meningkat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun