Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hukuman Mati Zaman Dulu, Lebih Adil atau Lebih Ngeri?

16 Desember 2020   09:04 Diperbarui: 14 Februari 2023   09:46 2338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mengupayakan adanya ketenteraman di masyarakat, sesuatu hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang bersalah maka seorang kepala pemerintahan akan berbuat seadil-adilnya.

Dengan adanya modernisasi di segala bidang kehidupan, maka perundang-undangan pun terbawa arus. Dalam bentuk jadinya, sebuah Undang-undang menjadi paku setelah melalui prosedur yang sudah digariskan di UUD (1945 di Indonesia).

Di UUD disebutkan anggota DPR mengajukan suatu UU yang namanya RUU (Rancangan Undang Undang). Jika RUU itu disetujui dan diteken oleh Presiden, maka sah lah menjadi UU.

UU yang dirancang oleh Perwakilan Rakyat itu dengan sendirinya itu berasal dari rakyat juga, yang lantas Presiden mengamini nya sebagai ketetapan.

Masih hangat diperbincangkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang dicokok KPK karena menjadi tersangka kasus permainan dana bantuan Covid-19 bagi yang terdampak di Jabotabek.

Sejak era Megawati Soekarnoputri, melewati Susilo Bambang Yudhoyono, hingga ke Jokowi, terhitung ada 13 petinggi setingkat menteri yang dicokok KPK karena korupsi. Dari semuanya, kedapatan Menteri Sosial paling banyak yaitu ada 3.

Ketiganya adalah Mensos Bachtiar Hamsyah di masa Megawati Soekarnoputri, dan Mensos Idrus Marham dan Juliari di masa Jokowi.

Sedangkan menteri-menteri lainnya terdiri dari 2 dan 1.

Dari situ dapat disimpulkan jika Kementerian Sosial paling banyak memancing menterinya untuk berbuat kejahatan.

Gilanya, Mensos Juliari meminta Rp 10.000 menjadi miliknya dari Rp 300.000 paket sembako yang ditawarkan ke swasta.

Hukuman mati jaman dulu (bicara.co.id)
Hukuman mati jaman dulu (bicara.co.id)
Dan lagi, korupsi ini dilakukan di saat masyarakat sedang gundah gulana karena wabah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Dalam UU ada disebutkan, tindak kejahatan yang dilakukan di masa bencana nasional, pelakunya dapat terancam hukuman mati.

Jika pada masa modern ini UU sudah diatur lebih adil dan modern, bagaimana dengan hukuman mati yang dilakukan di Nusantara kita pada era kerajaan-kerajaan?

Kendati mungkin sudah ada peraturan, tetapi mungkin tidak seadil-adilnya. Bagaimana pun hukuman mati dilakukan juga pada masa itu dengan cara-cara yang kejam dan HAM.

Sebagai contoh.

Di Aceh, seorang pelaku perzinahan dihukum dengan cara dilemparkan tombak. Jika tombak itu belum berhasil menancap. Maka tombak kedua akan dilemparkan lagi, begitu seterusnya sampai tombak itu menancap ke si pelaku dan berdarah.

Pembuat kejahatan lainnya di negeri Serambi Mekah ini dihukum dengan cara tubuh si pelaku ditidurkan di dalam sebuah lesung. Lantas kepala si pelaku ditumbuk berkali-kali layaknya menumbuk padi. Sampai kepala si pelaku remuk dan meninggal.

Di Jawa (pada era Kerajaan Islam). Seorang pelaku kejahatan diharuskan bergelut dengan harimau. Jika si pelaku sudah tercabik-cabik tapi belum mati juga, maka tubuh si terpidana akan disirami air jeruk nipis atau air garam.

Tentu saja, hal tersebut akan menambah perih luka yang diderita, sampai akhirnya meninggal.

Di era Kerajaan Hindu-Buddha, hukumannya bikin bulu kuduk berdiri. Siapa pun yang terbukti bersalah karena melakukan kejahatan, akan dihukum mati.

Si terpidana akan dibawa ke suatu tempat. Seseorang memegang tangan si terpidana. Lantas seseorang lainnya yang bertindak sebagai algojo lantas menghujamkan keris berulang-ulang ke jantung si terpidana. 

Mereka lalu membiarkan si terpidana berdarah-darah sampai mati.

Wacana hukuman mati bagi koruptor ini mencuat paska Mensos menilep uang Rp 17 miliar. Ketua KPK Firli Bahuri mengonfirmasi ketenteraman masyarakat menjadi hukum tertinggi. Apa yang dikorupsi pada masa bencana, maka tidak ada opsi lain kecuali melaksanakan hukuman mati.

Juliari Batubara telah mencoreng muka partainya, yaitu PDI-P. Namun apa pun itu, UU menjelaskan dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif guna mencegah dan memberantas tindak korupsi, maka hukuman mati dapat dieksekusi.

Menteri Koordinator Polhukam Manchfud MD pernah menyatakan kesetujuannya pasal hukuman mati bagi koruptor ini. Namun menurutnya, hukuman terberat itu belum fasih dalam kenyataannya lantaran hakim tak mampu menerapkannya.

"Kadang hukumannya dipangkas, kadang ringan, kadang malahan dibebaskan," kata Machfud MD. "Ya sudahlah, itu kan urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," lanjutnya.

Pandangan berbeda datang dari ICJR (Institute for Criminal Justice). ICJR menolak wacana hukuman mati bagi koruptor. Karena itu tidak akan menemukan akar masalah yang sebenarnya.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu mengatakan pemerintah sebaiknya fokus pada upaya pemberantasan dengan cara memperbaiki sistem pengawasan pada kinerjanya, seperti pada penyaluran Dana Bansos atau kebijakan lainnya terkait untuk pandemi Covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun