Apakah Anda pernah mendengar adanya peraturan yang berisi larangan menikah antara keluarga Sunda (di Jawa Barat) dengan keluarga yang berasal dari Jawa?
Ambisi Perdana Menteri (dulu disebut dengan Maha Patih) yang ingin mempersatukan seluruh wilayah Nusantara menjadi cikal bakal sempat munculnya larangan menikah di lingkungan Kerajaan Sunda dengan orang-orang dari Jawa.
Pada saat itu Gajah Mada bersumpah tidak akan makan buah Palapa sebelum cita-citanya itu menjadi kenyataan.
Pada abad ke 13 Gajah Mada sudah menguasai hampir seluruh wilayah yang disebut dengan Indonesia sekarang ini ditambah juga wilayah Asia Tenggara.
Namun masih ada dua wilayah lagi yang masih belum bisa ditaklukkan Gajah Mada yaitu Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Sunda di wilayah Tatar Pasundan, atau Jawa Barat sekarang ini.
Dalam sistem pemerintahan, ada Perdana Menteri, pasti di atasnya ada juga kepala pemerintahan, yaitu Raja atau Prabu.
Sikap Gajah Mada yang ingin segera menganeksasi Sunda dan Pajajaran bertentangan dengan sikap pihak istana. Ibu suri Majapahit Tribhuwana Tunggadewi maupun Dyah Wiyat tidak setuju jika Gajah Mada menyerang Sunda.
Mereka mengatakan Kerajaan Sunda masih kerabat sendiri.
Raja Majapahit sendiri, yaitu Prabu Hayam Wuruk, sependapat dengan ibu suri dan Dyah Wiyat. Terlebih lagi, Hayam Wuruk memiliki hasrat untuk mempersunting putri dari Prabu Maharaja Lingga Buana Wisesa (Raja Sunda), yaitu Dyah Pitaloka Citra Resmi.
Sebagai petinggi nomor satu setelah Hayam Wuruk, Gajah Mada lantas diutus Prabu Hayam Wuruk untuk memuaskan hasratnya mempersunting Dyah Pitaloka Citra Resmi, alias melamar.
Gajah Mada pun bertemu dengan Prabu Lingga Buana. Lamaran diterima, akan tetapi Gajah Mada meminta agar pernikahan antara Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citra Resmi digelar di Majapahit, bukan di Sunda.
Ada apa koq, Gajah Mada meminta pesta pernikahan dilaksanakan di Majapahit?
Kelak kemudian perkataan dari pendiri Buddha, Siddharta Buddha Gautama, atau filsuf-filsuf lainnya terbukti. Dimana ambisi yang berlebihan dapat mengakibatkan bencana, atau setidaknya itulah suatu kenyataan.
Prabu Lingga Buana, Dyah Pitaloka Citra Resmi, dan dengan didampingi para pengawal pun berangkat menuju ke Majapahit yang berlokasi di Jawa Timur. Ratusan rakyat pun melepas rombongan dari Galuh yang bakal menempuh perjalanan jauh ke Trowulan, ibukota Majapahit.
Ada sesuatu yang aneh dan tidak seperti biasanya terjadi ketika rombongan Prabu Sunda tiba di pantai dalam perjalanannya. Mereka melihat lautan berwarna merah darah.
Ada pertanda apa? Sangat jarang terjadi kalau lautan tiba-tiba berwarna merah darah. Namun rombongan tetap melanjutkan perjalanannya, apakah itu suatu pertanda dari yang Maha Pencipta atau bukan, Prabu tidak begitu menghiraukannya.
Setelah rombongan Prabu tiba di Bubat (Jawa Timur), sekonyong-konyong datang seorang yang mengaku utusan dari Gajah Mada yang meminta Prabu agar putrinya diserahkan saja ke Majapahit sebagai simbol takluknya Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Gajah Mada kurang ajar!. Dia benar-benar telah terbius oleh ambisinya untuk menaklukkan Sunda, Dyah Pitaloka Citra Resmi diminta begitu saja pertanda Sunda takluk.
Di sinilah lantas munculnya Perang Bubat pada 1357 Masehi (1279 Saka) yang termasyhur dalam sejarah.
Kerajaan Sunda sangat tersinggung oleh sikap Gajah Mada yang kurang ajar. Mereka mendesak Hayam Wuruk untuk segera menghelat pesta pernikahan saja dengan Dyah Pitaloka Citra Resmi, bukan sebagai pertanda takluk.
Jelas, emosi pihak Sunda sangat tersulut, Gajah Mada kurang ajar. Mereka mencerca habis-habisan Si Gajah Bengkak. Kendati pun Prabu Lingga Buana masih bertindak bijaksana menghadapi kejadian yang tidak diduga itu, namun peperangan pun akhirnya tak terhindarkan lagi.
Didahului dari dilepaskannya anak panah yang menembus utusan Gajah Mada, lantas berlanjut dengan perang terbuka.
Sebelum Hayam Wuruk membuat sesuatu keputusan, ternyata Si Gajah Bengkak sudah mengerahkan banyak prajuritnya ke lapangan Bubat.
Prajurit Sunda yang belum siap dan jumlahnya jauh lebih sedikit dari prajurit Gajah Mada pada akhirnya harus kalah dalam perang sengit dimana Sunda hanya menggunakan peralatan perang, di antaranya pedang, seadanya.
Prabu Lingga Buana Wisesa dan para petinggi Sunda lainnya akhirnya gugur dalam pertempuran itu.
Prabu Hayam Wuruk sangat menyesalkan apa yang terjadi dan mengutus seseorang ke Kerajaan Sunda untuk meminta maaf kepada Mangkubumi Suradipati, Plt Raja Sunda.
Melihat semua peristiwa itu terjadi, Dyah Pitaloka Citra Resmi akhirnya memutuskan untuk melakukan bunuh diri.
Semenjak peristiwa itu, hubungan antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang.
Gajah Mada kurang ajar!
Itulah cikal bakal adanya peraturan yang melarang keluarga Sunda menikah dengan orang Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H