Ada apa koq, Gajah Mada meminta pesta pernikahan dilaksanakan di Majapahit?
Kelak kemudian perkataan dari pendiri Buddha, Siddharta Buddha Gautama, atau filsuf-filsuf lainnya terbukti. Dimana ambisi yang berlebihan dapat mengakibatkan bencana, atau setidaknya itulah suatu kenyataan.
Prabu Lingga Buana, Dyah Pitaloka Citra Resmi, dan dengan didampingi para pengawal pun berangkat menuju ke Majapahit yang berlokasi di Jawa Timur. Ratusan rakyat pun melepas rombongan dari Galuh yang bakal menempuh perjalanan jauh ke Trowulan, ibukota Majapahit.
Ada sesuatu yang aneh dan tidak seperti biasanya terjadi ketika rombongan Prabu Sunda tiba di pantai dalam perjalanannya. Mereka melihat lautan berwarna merah darah.
Ada pertanda apa? Sangat jarang terjadi kalau lautan tiba-tiba berwarna merah darah. Namun rombongan tetap melanjutkan perjalanannya, apakah itu suatu pertanda dari yang Maha Pencipta atau bukan, Prabu tidak begitu menghiraukannya.
Setelah rombongan Prabu tiba di Bubat (Jawa Timur), sekonyong-konyong datang seorang yang mengaku utusan dari Gajah Mada yang meminta Prabu agar putrinya diserahkan saja ke Majapahit sebagai simbol takluknya Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Gajah Mada kurang ajar!. Dia benar-benar telah terbius oleh ambisinya untuk menaklukkan Sunda, Dyah Pitaloka Citra Resmi diminta begitu saja pertanda Sunda takluk.
Di sinilah lantas munculnya Perang Bubat pada 1357 Masehi (1279 Saka) yang termasyhur dalam sejarah.
Kerajaan Sunda sangat tersinggung oleh sikap Gajah Mada yang kurang ajar. Mereka mendesak Hayam Wuruk untuk segera menghelat pesta pernikahan saja dengan Dyah Pitaloka Citra Resmi, bukan sebagai pertanda takluk.
Jelas, emosi pihak Sunda sangat tersulut, Gajah Mada kurang ajar. Mereka mencerca habis-habisan Si Gajah Bengkak. Kendati pun Prabu Lingga Buana masih bertindak bijaksana menghadapi kejadian yang tidak diduga itu, namun peperangan pun akhirnya tak terhindarkan lagi.
Didahului dari dilepaskannya anak panah yang menembus utusan Gajah Mada, lantas berlanjut dengan perang terbuka.