Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benny Wenda Tantang RI, Fadli Zon Sentil Pemerintah: Kok Masih Sibuk Urus HRS?

3 Desember 2020   09:01 Diperbarui: 3 Desember 2020   09:24 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benny Wenda dan bendera Bintang Kejora (law-justice.com)


"Dengan dibentuknya pemerintahan ini, maka kami tidak akan tunduk kepada aturan hukum dari Indonesia," kata Benny Wenda. 

Dunia dalam dan luar negeri dikejutkan oleh pernyataan dari ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) yang menyatakan secara resmi berpisah dari Indonesia dan menetapkan tanggal 1 Desember 2020 sebagai Hari Kemerdekaan Papua Barat.

1 Desember dipilih karena karena tanggal ini tanggalnya deklarasi Kemerdekaan Papua Barat dari pemerintahan kolonial Belanda pada 1 Desember 1961.

ULMWP lantas mengangkat "raja" mereka Benny Wenda yang menetap di Inggris sebagai Presiden interim mereka.

"Hari ini kami menghormati nenek moyang kami dan akan membentuk government in waiting," kata Benny Wenda, yang dimuat di The Guardian, Rabu (2/12/2020).

Mereka mengibarkan bendera "Bintang Kejora" yang sejauh ini dilarang keras oleh NKRI sejak 1961. Papua Barat adalah wilayah yang memiliki lebih dari 250 suku.

Apakah ini tergolong perbuatan makar?

Salah satu tanggapan datang dari Anggota DPR RI Fadli Zon. Fadli Zon mengatakan pengangkatan Benny Wenda sebagai raja oleh ULMWP sebagai tindakan yang menantang pemerintahan Jokowi.

Oleh karenanya, tokoh yang digadang-gadang bakal menjadi kandidat Menteri Kelautan dan Perikanan itu meminta Presiden Jokowi agar fokus kepada masalah ini, jangan terlalu sibuk mengurusi masalah Habib Rizieq Shihab.

"Pak Jokowi, Pak Machfud MD, Bapak Panglima TNI, Bapak Kapolri, Benny Wenda jelas-jelas sudah menantang NKRI. Koq masih sibuk ngurusin Habib Rizieq Shihab?" Begitu tulis kader Gerindra itu di Twitternya, Rabu (2/12/2020).

Juru bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB Revina Shamdasani mengatakan alasan-alasan mengapa Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya, pada 1 Desember 2020.

Menurutnya rakyat Papua merasa terganggu keamanannya karena semakin maraknya kekerasan di wilayah Papua Barat dan Papua yang diduga dilakukan oleh TNI dalam beberapa bulan terakhir.

Shamdasani mengatakan pasukan keamanan telah membunuh pendeta Yeremia Zanambani. Tubuh Zanambani lantas diketemukan dengan penuh peluru dan luka tusuk di rumahnya di distrik Hitadipa.

Kekerasan yang terjadi juga ada di bulan September dan Oktober yang lalu. Dalam bentrokan, setidaknya ada 6 pekerja gereja dan 2 anggota pasukan keamanan yang tewas.

Shamdasani juga menceritakan kejadian kekerasan yang terakhir, yaitu pada 23 Nopember lalu dimana seorang remaja terbunuh dan seorang lainnya terluka karena ditembak polisi.

Ada setidaknya 40 orang yang pro kemerdekaan yang melancarkan protes, lantas mereka ditangkap.

Seperti diketahui, secara geografis, wilayah Papua dan Papua Barat merupakan wilayah yang bertetangga dengan Papua Nugini di sebelah timur. Mereka berada di satu pulau yaitu Pulau New Guinea.

Kendati dikuasai Indonesia, secara fisik, penduduk Papua Barat berlainan dengan fisik orang-orang Indonesia pada umumnya. Mereka lebih mirip dengan orang-orang dari kepulauan Kaledonia Baru, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini.

Perbedaan itu juga yang menjadi salah satu alasan Papua Barat ingin lepas dari NKRI.

Paska merdeka dari Belanda, militer Indonesia menganeksasi wilayah yang disebut juga dengan kepala burung itu pada tahun 1962.

Dalam sebuah referendum yang disponsori PBB pada tahun 1969 mayoritas rakyat Papua memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia.

Sebagai bagian dari NKRI, tentunya Papua dan Papua Barat juga mendapatkan fasilitas dan APBN untuk membangun wilayah itu.

Pada tahun 2001 Papua Barat dijadikan status sebagai otonomi khusus. Ketentuan itu akan berakhir pada akhir tahun ini, Indonesia berupaya untuk memperpanjang status itu.

Akan tetapi pengunjuk rasa pro kemerdekaan menuding upaya Otsus itu bermuatan politis, yaitu untuk menekan gerakan kemerdekaan.

Shamdasani juga mengingatkan referendum pada 1969 sebagai tidak sah karena berisi unsur kecurangan, dimana lebih dari 1.000 orang Papua mendapatkan paksaan dan kekerasan untuk memilih, mendukung pemerintah Indonesia.

Tidak tunduk pada RI ini diartikan memang mereka berencana akan membuat konstitusi sendiri sebagai sebuah negara yang demokratis. Bahkan RNZ melaporkan Dewan Legislatif ULMWP sudah menggelar sidang tahunan untuk ketiga kalinya, untuk membahas pembuatan konstitusi.

Pemerintah Indonesia hingga kini masih mengesampingkan referendum kemerdekaan Papua Barat. Pemerintah juga mengecam Benny Wenda yang mengatakan orang Papua sudah memilih NKRI.

Mengenai otonomi khusus yang akan diperpanjang, Benny Wenda mengatakan kepada RNZ tidak akan tunduk pada RI.

Gereja-gereja di Papua juga menggaungkan seruan Benny Wenda dengan menulis surat kepada Presiden Jokowi agar menarik militer Indonesia dari Papua karena sudah melakukan sejumlah kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun