Strategi lainnya untuk menekan jumlah perokok ini adalah dengan membatasi iklan atau sponsor produk rokok, umpamanya iklan rokok hanya boleh ditayangkan di televisi di atas jam 10 malam.Â
Cara lainnya, para produsen rokok diharuskan mencantumkan label peringatan tentang bahaya dari merokok itu, juga disertai gambar-gambar yang mengerikan.Â
Mall-mall, kantor, atau perusahaan diwajibkan untuk menyediakan ruangan khusus bagi perokok. Karena bukan saja yang aktif merokok membahayakan kesehatan, akan tetapi perokok pasif juga sama bahayanya. Perokok pasif adalah orang yang tidak merokok akan tetapi terpapar asap rokok dari si perokok.
Ada lagi KTR (Kawasan Tanpa Rokok), yang diterapkan di tempat-tempat yang berbahaya seperti rumah sakit,dan sebagainya.
Penyuluhan langsung ke masyarakat, melalui pendidikan juga dijelaskan mengenai bahayanya merokok.
Polemik yang dirasakan Kementerian Keuangan saat ini adalah di saat penerimaan cukai dari rokok adalah yang terbesar dari cukai lainnya. Kontribusi yang besar itu sangat menggiurkan untuk memulihkan ekonomi, Kemenkeu sangat membutuhkan dana yang dapat dipakai untuk kebutuhan lainnya.
Apakah kenaikan cukai ini efektif menekan jumlah perokok terkait kesehatan? Pemerintah juga harus memikirkan industri hasil tembakau yang menimbulkan multiplier effect yang besar.
"Berdampak kepada IHT (Industri Hasil Tembakau) petani," kata Nirwala Dwi Haryanto, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Bea dan Cukai.
Memang menggiurkan kontribusi cukai rokok ini. Haryanto menerangkan target penerimaan cukai dari rokok itu bahkan mencapai lebih dari 100 persen (100,2%) pada 2017. Begitu pun setahun sesudahnya, pada 2018 targetnya juga melebihi 100 persen (103,8%).
Industri rokok ini berkontribusi 61,4% (Rp 200 triliun) dari hasil cukai lainnya! Sungguh menggiurkan untuk digunakan sebagai pemulihan ekonomi.
Timbul pertanyaan sekarang, apakah di tengah pandemi Covid-19 saat ini, rokok juga masih menggiurkan?