"Semasa itu saya dedikasi untuk HAM Papua di Jayapura. Saat itu saya tetap bersuara ketika internet dimatikan di Papua. Saya tetap posting video dan foto orang Papua yang turun ke jalan mengecam rasialisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri" tuturnya.
Polisi Indonesia menetapkan VKL sebagai DPO dan mengirim red notice kepada interpol dikarenakan VKL dituding sebagai dalang pemicu provokasi atas kerusuhan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
"Reuters menyebutkan upaya-upaya berbagai ancaman kepada saya dibekingi dan dibiayai oleh TNI," tutur VKL
"Kementerian Keuangan mengabaikan fakta bahwa saya sudah kembali ke Indonesia dan berkeinginan ke tanah air jika tidak ada ancaman yang membahayakan diri," kata Koman lagi.
Ada kisah haru bagi Koman yang dia posting di akun Facebook-nya (14 Agustus 2020). VKL menceritakan betapa dia menangis, ketika membuat esai saat kuliah di Australian National University. Rerata esai yang dia kerjakan selalu berhubungan dengan Papua.
Dalam facebooknya, Koman mengisahkan bahwa dia pasrah dibuang NKRI. "Berikan saya kepada Papua. Kami punya harga diri," tulisnya.
Dalam postingannya itu, Koman merasa pengorbanannya dianggap sebagai pengkhianatan bagi NKRI.
"Dalam setidaknya 3 esai yang dibuat saya meneteskan air mata, karena semakin tahu kebusukan NKRI saat riset," tulis VKL lagi.
Semua demi membela hak-hak dan kebebasan rakyat Papua.
Bahkan, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International, mengatakan bahwa tuntutan pengembalian dana LPDP terhadap VKL adalah suatu bentuk kriminalisasi dan intimidasi untuk membuat lemah VKL dalam mengungkapkan kekerasan di Papua.
"Intimidasi terhadap pembela HAM (Hak Asasi Manusia) jelas merupakan pelanggaran HAM," tegas Hamid, Jum'at (14/8/2020).