Pemilu yang dihelat hanya lima bulan setelah Netanyahu gagal membentuk pemerintahan koalisi itu, diikuti oleh 32 faksi politik, namun diprediksi hanya 10 hingga 12 faksi politik yang bakal mendapat kursi di Knesset.
Kegagalan Netanyahu lima bulan lalu, disebabkan partai Yisrael Beiteinu yang dipimpin Avigdor Lieberman tidak mau komplot dengan koalisi pimpinan Netanyahu. Lieberman menuding Netanyahu banyak kompromi dengan Hamas. Tapi Netanyahu klaim sudah bersikap keras terhadap Hamas.
Undang-undang pemilu negara itu, pemerintahan koalisi dapat terbentuk kalau memperoleh sokongan minimum 60+1 kursi dari 120. Sikap politik Lieberman itu, membuat Netanyahu gagal membangun Knesset 60+1.
Netanyahu cemas, karena pemilu sekarang ini sangat menentukan masa depannya. Jika dia dapat menenangkan pemilu, maka hal itu dapat menggagalkan proses hukum kepada dirinya. Netanyahu sedang menantikan hari tanggal 2 Oktober mendatang, dimana vonis akan dijatuhkan kepada dirinya terkait tiga kasus, yaitu penyalahgunaan dana negara, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindak korupsi.
Sementara Benny Gantz, berupaya sungguh-sungguh mengakhiri posisi Netanyahu. Jika terpilih, Gantz akan merubah arah ideologi bangsa ke tengah kiri (yang tadinya kanan radikal) yang mana bisa menciptakan terjadinya perdamaian serta stabilitas di Israel dan Timur Tengah.
Survei menunjukkan, hasil pemilu kali ini tidak akan jauh beda dengan hasil pemilu April lalu. Likud dan Biru Putih meraih 35 kursi, kubu tengah kiri 55 kursi, kubu agama dan kanan radikal 65 kursi.
Dunia, khususnya negara-negara OKI nampaknya cemas kalau Netanyahu terpilih lagi. Dunia internasional mengecam keras pernyataan Netanyahu dalam kampanye, bahwa dirinya akan mencaplok bagian penting Tepi Barat, yaitu Lembah Jordan, kalau dia terpilih lagi.
Inti dari kecaman, khususnya dari negara-negara Arab adalah aneksasi di Israel akan sangat membahayakan proses perdamaian di Timur Tengah.
Palestina dan Yordania, menilai tindakan yang akan dilakukan Netanyahu itu sebagai "menghancurkan" dan "membunuh".
Suriah menilai hal itu sebagai ekspasionis, pelanggaran mencolok perjanjian internasional.
Sekutu Suriah, Rusia, menilainya "ekskalasi tajam".