Dengan menggunakan non tunai maka dapat dihemat biaya pencetakan uang baru yang sudah lusuh.
Belakangan kita mendengar istilah e-commerce, dan financial technology. Atau e-money. E-money atau uang elektronik memudahkan kita untuk berbelanja, membayar tagihan, dan lain-lain melalui sebuah aplikasi.
Start pada 14 Agustus 2014, pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, meluncurkan sebuah program yang dinamakan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai). GNNT bermaksud untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan non tunai, yang mana pada akhirnya akan membiasakan mayarakat melakukan pembayaran dengan non tunai.
"Go Digital Vision 2020". Itulah skema Bank Indonesia untuk mencapai cashless society.
Dalam kerangka itu, pemerintah sudah mewajibkan setiap pembayaran tol di pintu tol menggunakan kartu elektronik, mulai Oktober 2017.
Pada tahun 2014 Belgia merupakan negara yang paling rajin menerapkan sistem cashless society, lalu diikuti oleh negara-negara seperti Swedia, Inggris, Perancis, dan Kanada.
Sementara di Asia, di negara tirai bambu Cina, penerapan sistem itu dapat menular lebih cepat ke dalam masyarakat. Kini, untuk membeli makanan atau minuman, membeli koran atau majalah mereka menggunakan sebuah aplikasi.
Namun di negeri Indonesia upaya "Go Digital Vision 2020" masih menghadapi berbagai kendala.
Hal tersebut disebabkan karena Indonesia masih kalah dari negara-negara seperti Singapura atau Malaysia dalam "melek teknologi".
Hal itu dikarenakan belum meratanya penyebaran internet ke tempat terpencil di tanah air dan juga karena tingkat literasi yang masih rendah.
Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2016 menyebutkan tingkat literasi masyarakat kita baru sebesar 29,66 persen dari total penduduk. Itu berarti baru 75 juta dari 240 juta orang. Masyarakat Indonesia masih lebih nyaman menggunakan uang tunai.