Sepakbola Indonesia sedang berduka disebabkan karena carut marutnya kasus match fixing yang melibatkan bahkan para petinggi PSSI.Â
Hingga saat ini Satgas Antimafia Bola telah menciduk beberapa orang tersangka dan Presiden Joko Widodo sendiri turut mendukung agar Polri bekerja terus hingga tuntas menyelesaikan semua kasus itu.
Memasuki tahun 2019, PSSI mencanangkan target untuk memperoleh medali di SEA Games Filipina, dan dapat lolos dari kejuaraan kualifikasi Piala Asia U-23 2020.
Namun sebelum itu, Indonesia juga akan mengikuti turnamen sepakbola Piala AFF U-22 yang dilangsungkan di Kamboja.
Waktu yang tinggal satu setengah bulan lagi, Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria lantas segera mengangkat Indra Sjafri sebagai pelatih yang akan menangani timnas U-22.Â
Indra Sjafri lantas langsung bebenah dengan mengumpulkan para pemain dan berupaya juga memanggil para pemain yang sedang merumput di luar negeri.
Waktu yang mepet menyebabkan timnas U-22 hanya melakukan tiga kali ujicoba dengan hasil yang kurang meyakinkan, tiga kali bermain draw.
Di Kamboja sendiri, dua laga awal fase grup timnas hanya bisa bermain imbang melawan Myanmar dan Malaysia.
Baru di laga ketiga, permainan timnas membaik dengan membekuk tuan rumah dengan 2-0. Dan permainan lebih meningkat, Vietnam ditundukkan Indonesia dengan gol tunggal dari Luthfi Kamal. Indonesia pun keluar sebagai juara turnamen ini dengan menundukkan Thailand di final 2-1.
Kasus ini mirip dengan kasus Italia di Piala Dunia Jerman 2006. Di tangan Marcello Lippi, Italia waktu itu sama sekali tidak diunggulkan, tapi grafik permainan negeri pizza semakin meningkat dari fase grup hingga akhirnya menjadi juara. Negeri pizza mengalahkan Perancis di final. Perancis yang bertabur bintang.
Italia saat itu sedang dilanda calciopoli. Skandal suap dan pengaturan skor yang melibatkan tim-tim papan atas seperti Lazio, Fiorentina, Juventus, dan AC Milan. Mereka dihukum dengan pengurangan poin dan degradasi. Beberapa petinggi klub dijebloskan ke dalam penjara, di antaranya Antonio Giraudo, pejabat Juventus dan Paolo Dondarini, wasit.
Marcello Lippi sendiri mengatakan bahwa para pemainnya mempunyai mental fantastis. Mentalitas seperti yang ditunjukkan Garuda Muda sekarang. Berawal dari kurang meyakinkan, lebih baik, lebih baik, lebih lagi dan juara.
Sukacita pun muncul menyambut kemenangan Garuda Muda. Dari masyarakat, hingga bapak Jokowi.
Ratu Tisha sendiri merasa terharu dengan apa yang terjadi. Di tengah carut marut persepakbolaan Indonesia, Garuda Muda memperlihatkan prestasi yang membanggakan.
Namun, Indonesia tidak boleh terlena begitu saja dengan sukacita. Karena di bulan Maret ini sudah akan menghadapi kualifikasi AFC Cup U-23 2020 pada 22 hingga 26 Maret 2019. Digelar di Vietnam, Garuda Muda bergabung bersama Brunei Darussalam, Thailand, dan Vietnam di Grup K.
Inilah salah satu target yang dicanangkan Ratu Tisha selain SEA Games Filipina, Nopember.
Keraguan sempat muncul dari masyarakat Indonesia ketika timnas U-22 menghadapi Vietnam di semifinal, mengingat Vietnam merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang mempunyai peringkat di bawah 100 dunia, yaitu peringkat 99 FIFA. Sementara Indonesia berada di peringkat 159 dunia.
Namun toh, Vietnam kini dapat ditundukkan pasukan Indra Sjafri dengan gol tunggal.
Melewati Vietnam, Garuda Muda menundukkan Thailand di final.
Trofi dari U-22 ini merupakan kali ketiga Indonesia alami setelah sebelumnya pada tahun 2013 dibawah pelatih Indra Sjafri juga juara AFF Cup U-19, dan tahun lalu juara AFF Cup U-16.
Keberhasilan mengangkat trofi AFF Cup U-22 membuktikan kalau Indonesia kaya akan pemain muda bertalenta.
Prestasi di level senior kini menunggu berikutnya. Di FIFA level senior Indonesia terpuruk di peringkat ke 159 dunia, cukup jauh dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam ke 99, Thailand ke 115, Filipina ke 123, serta Myanmar di peringkat ke 138.
Indonesia boleh "iri" dengan keberhasilan Filipina, Thailand, dan Vietnam yang bisa lolos ke Piala Asia 2019 senior lalu. Namun hal itu jangan membuat PSSI gentar.
Kompetisi harus bebas dari racun mafia bola. Sebaiknya lebih digiatkan lagi pembinaan dan kompetisi berjenjang sejak usia muda.
Kompetisi haruslah bernilai profesional. Karena profesionalisme bakal melahirkan pemain-pemain yang berkualitas dan berkelas, yang bakal berkiprah di senior.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H