Jika belum ditemukan penyebabnya, maka pemeriksaan dilanjutkan ke tingkat genetik, terutama jika jumlah sperma sangat sedikit. Saat ini, sudah tersedia tes khusus analisis sperma untuk melihat apakah gerakan sperma cukup cepat, atau seberapa bagus sperma bertahan setelah ejakulasi, seberapa kuat mampu memenetrasi sel telur, dan apakah ada gangguan dalam penetrasi.
Terapi untuk infertilitas pada pria dilakukan sesuai penyebabnya.
Untuk kasus verikokel atau penyumbatan saluran sperma, misalnya, dapat dilakukan pembedahan. Sementara itu, untuk kasus tidak ditemukan sperma pada ejakulat karena sumbatan, maka dokter bisa memindahkan sperma dari testikel ke epididimis (saluran berkelok-kelok di dalam skrotum) menggunakan teknis khusus.
Untuk kasus infeksi, tentu harus disembuhkan infeksinya, meski kadang ini tidak selalu dapat mengembalikan kesuburan. Gangguan seks juga turut diatasi dengan obat atau konseling, dan gangguan hormon diterapi dengan terapi hormon pengganti.
Jika memang tidak memungkinkan dilakukan terapi untuk menghadirkan kehamilan secara alamiah, maka langkah terakhir adalah teknik reproduksi berbantu, seperti inseminasi dan bayi tabung. Pada dasarnya, teknologi kedokteran saat ini memungkinkan infertilitas pria untuk ditangani.
Meski demikian, para pakar tetap menyarankan agar kaum pria melakukan pencegahan dengan menghindari faktor risiko infertilitas. Misalnya, berhenti merokok, membatasi konsumsi alkohol, tidak sembarang mengonsumsi obat, serta menjaga berat badan ideal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H